PULAU KEMARO
(Legenda Kisah Cinta Sejati)
"Sanggupkah aku membuktikan cinta sejatiku
seperti halnya cinta Siti
Fatimah terhadap Tan Bun An ?
Tidak berapa lama menunggu di dermaga dekat museum Sultan Mahmud Baharuddin II, akhirnya kapal dan ketek atau perahu yang akan membawa kami ke Perkampungan Arab Al-Munnawar dan Pulau Kemaro siap diberangkatkan.
Ketek atau perahu yang kami tumpangi semakin mendekati sebuah dermaga. Dari kejauhan terlihat puncak sebuah pagoda tinggi menjulang. Warnanya yang bernuansa kemerahan sangat mencolok diantara hijaunya dahan pohon. Perlahan kami menuruni perahu dan mulai naik ke dermaga. Jembatan kayu di sepanjang dermaga seolah menyambut kedatangan kami. Kami tiba di sebuah pintu gapura yang berhiaskan dua ekor naga kembar di atas gapura yang bernuansa kemerahan bertuliskan “Pelaksana PT Sumber Harapan Sarana Dermaga Besi Pulau Kemaro”. Kata mbak Atik, salah seorang panitia FamTrip, itu berarti bahwa PT Sumber Harapan Sarana merupakan perusahaan yang memberikan bantuan bagi pembangunan gapura tersebut. Memang ada beberapa ikon tempat-tempat wisata di Palembang yang dibangun oleh perusahaan yang ada di Palembang dan kita bisa mengetahui nama perusahaan itu karena tertulis di ikon wisatanya. Akupun pernah melihat patung ikan Belida yang berada di dekat pinggir sunagi Musi bertuliskan Bukit Asam.
Ketek atau perahu yang kami tumpangi semakin mendekati sebuah dermaga. Dari kejauhan terlihat puncak sebuah pagoda tinggi menjulang. Warnanya yang bernuansa kemerahan sangat mencolok diantara hijaunya dahan pohon. Perlahan kami menuruni perahu dan mulai naik ke dermaga. Jembatan kayu di sepanjang dermaga seolah menyambut kedatangan kami. Kami tiba di sebuah pintu gapura yang berhiaskan dua ekor naga kembar di atas gapura yang bernuansa kemerahan bertuliskan “Pelaksana PT Sumber Harapan Sarana Dermaga Besi Pulau Kemaro”. Kata mbak Atik, salah seorang panitia FamTrip, itu berarti bahwa PT Sumber Harapan Sarana merupakan perusahaan yang memberikan bantuan bagi pembangunan gapura tersebut. Memang ada beberapa ikon tempat-tempat wisata di Palembang yang dibangun oleh perusahaan yang ada di Palembang dan kita bisa mengetahui nama perusahaan itu karena tertulis di ikon wisatanya. Akupun pernah melihat patung ikan Belida yang berada di dekat pinggir sunagi Musi bertuliskan Bukit Asam.
Kakiku semakin jauh melangkah. Pepohonan rindang tumbuh subur di
sini. Jalan setapak bersemen terlihat membentang membentuk lengkungan indah di
sepanjang lahan Pulau Kemaro.
Beberapa temanku sudah asik bersepeda di jalan setapak ini. Mataku tertuju pada
sebuah bangunan klenteng. Klenteng Hok Tjing Rio atau lebih dikenal Klenteng
Kwan Im dibangun pada tahun 1962. Di depan klenteng terdapat makam
petilasan Tan Bun An (Pangeran) dan Siti Fatimah (Putri) yang berdampingan.
Seorang juru kunci klenteng yang aku temui saat
itu yang bernama pak Burhan menceritakan kisah Tan Bun An dan Siti Fatimah.
Berdasarkan petunjuk yang beliau dapatkan, sekitar abad 13 ada seorang saudagar
kaya dari negeri Tiongkok bernama Tan Bun An yang berlayar ke Palembang. Ia
datang untuk berdagang. Tan Bun An
bertemu dengan seorang putri raja yang bernama Siti Fatimah. Mereka akhirnya
saling jatuh cinta dan berniat untuk ke pelaminan. Karena persediaan harta Tan
Bun An mulai menipis maka Tan Bun An berniat kembali ke Tiogkok dan mengajak
Siti Fatimah untuk bertemu dengan orang tuanya. Setelah beberapa waktu, mereka
kembali lagi ke Palembang. Karena perjalanan begitu lama yaitu sekitar 6 bulan
dari Tiongkok ke Palembang dengan menggunakan perahu layar, maka orang tua Tan
Bun An menghadiahi 18 buah guci. Tan Bun An belum mengetahui isi guci-guci
tersebut. Sesampai di muara sungai Musi, Tan Bun An membuka tutup guci dan ingin
mengetahui isi dari guci-guci tersebut. Ternyata isinya adalah sayuran sawi
asin. Karena begitu banyaknya sayuran sawi yang ada di dalam guci maka
guci-guci tersebut dibuang ke sungai oleh Tan Bun An. Ketika Tan Bun An ingin
membuang guci ke-18, guci tersebut terjatuh di atas dek dan pecah. Tan Bun An
kaget sekali ketika mengetahui bahwa isi guci itu tidak semuanya sawi asin. Ada
emas perhiasan yang banyak pula terdapat dalam guci. Dia menyesal telah
membuang guci-guci pemberian orang tuanya. Tanpa berpikir panjang lagi Tan Bun
An terjun ke dalam sungai untuk mengambil emas-emas yang sudah dibuangnya.
Pengawalnya pun ikut juga terjun ke dalam sungai untuk membantu sang pangeran.
Tapi kedua orang itu tidak kunjung muncul ke permukaan sungai. Siti Fatimah menjadi
gelisah dan kuatir. Karena cintanya kepada Tan Bun An akhirnya ia pun menyusul
terjun ke sungai diiringi dengan seorang dayang setianya. Mereka pun tidak
muncul juga. Untuk mengenang mereka berempat maka dibangunlah sebuah klenteng
dan makam di sebuah pulau yang ada di pinggir sungai Musi. Pulau ini bernama Pulau Kemaro atau pulau Kemarau yang
berarti pulau yang tidak pernah tenggelam ketika sungai Musi sedang pasang
sekalipun.
Pulau kemaro ini adalah sebuah delta yang ada di pinggir sungai Musi
tepatnya di Kelurahan 1 Ilir, Kecanatan Ilir Timur II, Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan,
sekitar 6 km dari Jembatan Ampera. Pulau kemaro memiliki luas ±79 Ha dengan ketinggian 5 m dpl.
Aku kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke sebuah Pagoda.
Pagoda yang dibangun pada tahun 2006 dengan ketinggian 45 meter ini menjulang
tinggi di tengah-tengah Pulau Kemaro. Pagoda
ini terdiri dari 9 tingkat dengan tinggi masing-masing tingkatnya 5 meter.
Hari semakin sore. Awan terlihat makin menebal pertanda sebentar
lagi akan turun hujan. Dengan bergegas aku melangkahkan kaki menuju ke dermaga.
Kakiku terhenti ketika melihat sebuah pohon yang fenomal di Pulau Kemaro ini, “Pohon
Cinta”. Pohon ini melambangkan kisah “Cinta Sejati” antara dua bangsa dan dua
budaya yang berbeda pada zaman dahulu antara Siti Fatimah, putri kerajaan
Sriwijaya dan Tan Bun An, seorang saudagar kaya dari negeri Tiongkok. Konon
jika ada pasangan yang mengukir nama mereka di pohon tersebut maka hubungan
mereka akan berlanjut hingga ke jenjang pernikahan, Oleh karena itu, pulau ini
juga disebut sebagai Pulau Jodoh.
Di dekat pintu keluar ada beberapa pedagang yang menjual souvenir
khas Pulau Kemaro seperti gantungan
kunci, tempelan kulkas, kaos, snack dan minuman. Beberapa oarng terlihat
berkerumun di sana unuk membeli beberapa souvenir.
Perahu yang kami tumpangi tadi masih sabar menunggu di dermaga.
Ada kesepakatan mengenai waktu sewa pulang pergi ke Pulau Kemaro ini. Biaya sewa perahu yang berisi sekitar 7-10 orang
adalah sekitar 200.000 -250.000 rupiah dengan waktu tempuh sekitar 30 – 45
menit.
“Sudah selesai bu ke Pulau Kemaro?” tanya tukang ketek.
“Ya pak,” jawabku.
“Ayo kita jalan sebelum hujan mulai turun,” kataku sembari
melangkah naik ke atas perahu.
Angin sungai Musi bertiup lembut meski awan gelap mulai terlihat
berat menggantung di langit. Mataku masih lekat menatap ke Pulau Kemaro. Semakin ketek atau perahu yang aku tumpangi semakin
jauh, maka Pulau Kemaro semakin terlihat bagai noktah saja. Puncak pagoda terlihat
menyembul diantara rimbunan pepohonan hijau. Kontras sekali warnanya. Begitu
eksotik dan penuh misteri. Pulau Kemaro, kisah cinta sejati dan harta Tan Bun
An yang masih terpendam di sungai Musi, meninggalkan jejak sejarah dan budaya yang
tak lapuk oleh waktu.
(Plm, 23Nov2019)
(Plm, 23Nov2019)




Tidak ada komentar:
Posting Komentar