24/11/19

Eksplorasi Masjid

MASJID LANGGAR TINGGI, JAKARTA BARAT




Siang itu terasa sangat panas. Sudah beberapa hari ini belum turun hujan. Kakiku mulai melemah menapaki sepanjang jalan Pekojan Jakarta Barat. Rumah-rumah kumuh di sepanjang bantaran kali Angke terlihat ramai dengan barisan jemuran baju di depan rumah. Tak etis terlihat tapi siapa yang mau peduli. Semua sibuk memikirkan jatah nasi hari ini agar perut tidak menyanyi keroncong. Sengatan matahari membuat mataku makin menyipit mencari-cari sosok bangunan masjid. Tapi tanda-tanda itu tak terlihat.


Aku menepi ke sebuah pohon yang tidak begitu rindang di pinggir jalan. Dua orang bapak sedang jongkok. Mereka sedang bercakap-cakap. Entah apa yang sedang dibicarakannya. Di belakang pohon tempatku berteduh ada sebuah bangunanberlantai dua. Pada lantai satu terlihat deretan toko foto copy, souvenir dan stempel. Lantai berikutnya aku tak tahu digunakan untuk apa. Bentuknya seperti bangunan kantor.

"Panas ya bu hari ini." salah seorang bapak memulai percakapan denganku. Dia pasti melihat wajahku yang kemerahan dan berkeringat.
"Iya, pak." responku singkat sambil mengamati sekitar.
"Ibu lagi mencari alamat?“ tanya bapak satunya lagi yang lebih gendut berkulit sawo matang.
“Ya, pak. Saya sedang mencari masjid Langgar Tinggi. Katanya sih di sekitar sini tapi saya tidak melihat bangunan masjid di sekitar sini,” jawabku.

Bapak berkulit sawo matang menatap temannya sambil senyum-senyum. Temannya yang berperawakan tinggi kurus tersenyum lebar.
“Ini masjid Langgar Tinggi, bu.” Katanya sambil menunjuk bangunan bertingkat seperti ruko.
“Yang ini? Masa sih? Kok gak seperti masjid, pak?” aku terperangah menatap bangunan yang ditunjuk oleh bapak itu.
“Iya bu. Ini dia masjid Langgar Tinggi. Cagar budaya bu. Udah tua usianya.”
“Ooooo,” jawabku terheran-heran.
"Pintu masuknya dimana pak?” tanyaku lagi. Dari tadi aku tidak melihat pintu masuk masjidnya.
“Dari sana bu. Masjidnya ada di lantai dua. Lantai satu ini toko-toko.” Jawab bapak berkulit sawo matang.
“Ooooo. Ok pak. Saya ke sana dulu ya. Terima kasih.”

Aku mengamati lagi bentuk bangunan masjid. Ini masjid bentuknya seperti rumah bertingkat. Setahuku ciri-ciri masjid Indonesia pada umumnya adalah ada kubah, menara dan atapnya bersusun atau berbentuk susunan payung-payung yang terbuka.
Kakiku melangkah menuju pintu. Untuk menuju ke lantai dua aku harus membuka pintu pagar besi yang tidak terkunci. Aku terdiam sejenak. Mataku melirik ke arah sebelah kiri. Ada tempat wudhu dan bak mandi besar yang terisi penuh. Warna airnya agak keruh. Tempat wudhunya terlihat gersang. Kering. Seperti jarang digunakan tapi terlihat bersih.

Tanganku mulai memegang pegangan pintu pagar besi. Dengan mengucap basmalah dan mengucap salam dalam hati kakiku mulai menapaki tangga satu persatu.

Memasuki ruang masjid di lantai dua, aku berhadapan dengan pintu kayu dengan gembok besi tua yang kokoh bertuliskan BATAVIA. Ternyata ada dua ruangan. Ruangan pertama ukurannya tidak begitu besar. Di dinding terlihat tulisan “Khusus Wanita”. Tak banyak yang aku lihat di ruangan ini selain dua tumpukan keranjang berisi perlengkapan shalat wanita.

Kakiku mulai memasuki ruangan berikutnya. Ruangannya lebih luas dari ruang sebelumnya. Hamparan karpet sajadah berwarna merah menyambut kedatanganku. Alunan merdu ayat-ayat Alqur’an menggema halus di dalam ruangan. Di pojok kanan depan ada seseorang telihat duduk bersimpuh di atas karpet sajadah. Aku mulai mengeksplorasi masjid ini dan penasaran dengan sosok yang sedang berada di masjid. Jadi hanya ada aku dan orang itu saja di dalam masjid. Masjid benar-benar begitu hening. Sepi. Saat itu sekitar pukul dua siang. Semakin dekat baru terlihat jelas bahwa benda di sebelah orang itu adalah dus yang berisi dua botol mineral, beberapa bungkus rokok, permen dan minuman serbuk sachet. Aku tersentak kaget manakala melihat orang tersebut sedang mengaji. Ternyata alunan ayat-ayat suci Alqur’an berasal dari bapak pedagang asongan ini. Rasanys seperti ditampar saja mukaku ini. Waktuku hanya terpakai untuk membaca wa saja. Astaqfirullah.

Aku duduk di belakang bapak pedagang asongan. Menunggunya menyelesaikan bacaannya. Udara panas membuatku tergiur untuk membeli air mineralnya.


“Pak, Aquanya berapa harganya?” tanyaku ketika bapak pedagang asongan selesai mengaji.
“Empat ribu, bu,” jawab bapak itu.
“Satu ya,”
Aku menerima aqua dari bapak itu.
“Yang lebih dingin ada pak? Ini udaranya panas sekali jadi pengen minum yang dingin.” Pintaku sambil mengembalikan aqua yang kuterima tadi.
Ketika bapak pedagang asongan memberikan botol aqua kepadaku, seketika itu juga dia mengemasi asongannya dan dengan terbirit-birit melangkah ke arah pintu sambil berucap, “Assalamualaikum bu’. Aku terpana. Kenapa ya dia? Aku melihat ke sekeliling ruangan. Tidak ada siapa-siapa kecuali diriku saja. Hening.

Aku tenggak minuman mineral yang barusan dibeli. Mataku menyusuri ke sekeliling ruangan lagi. Seperti mencari sesuatu tapi aku tidak melihat siapa-siapa di dalam ruangan ini. Sayup-sayup terdengar suara klakson kendaraan bersahut-sahutan dari arah sisi masjid yang berbatasan dengan kali Angke. Lalu lintas di sana lebih ramai dari pada sisi masjid yang pertama kali aku masuki.

Ketika kakiku mendekati pintu ruangan dalam masjid, semilir angin membawa aroma khas yang membuat bulu kudukku berdiri. Mataku menelusuri ruangan lagi. Aku masih sendiri di sini. Setidaknya seperti itu yang aku lihat. Tapi aku merasakan ada yang lain lagi di sini. Hatiku mulai kecut. Rasa was-was mulai menghantui diriku. Tanpa diperintah, kakiku melangkah ke arah pintu dan ke luar dari ruangan dalam. Di ruang khusus wanita suara air yang mengalir dari kran terdengar di telingaku disertai aroma sabun mandi. Dengan cepat aku melangkah keluar ruangan dan menuruni tangga. Sampai di dua anak tangga terakhir, aku longokkan kepalaku ke arah kran-kran tempat wudhu. Kering. Tidak ada setetes air pun membasahi lantai yang terbuat dari semen.

Kakiku melangkah menuruni sisa anak tangga. Rada terbirit-birit seperti bapak pedagang asongan tadi. Duh, parah sekali nyaliku ini. Aku jadi tidak shalat tahiyatul masjid di masjid ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar