28/09/19

Artikel

THE SILVER BOYS


Ada yang baru di dekat pasar Parung. Ya, gerai makanan dan tempat nongkrong orang-orang jaman sekarang, yaitu J.Co dan Breadtalk yang kini hadir di mal Ramayana Parung. Maap ini bukan iklan. Ini hanyalah luapan suka dari orang awam seperti aku.


Siang itu aku menuju J.Co. Selain mau mengademkan diri, aku pun ingin menuntaskan buku yang sedang aku baca, yaitu buku karangan Fumio Sasaki yang berjudul, ”Goodbye, Things. Hidup Minimalis Ala Orang Jepang.” Aku sudah membulatkan tekad untuk membaca minimal 1 jam per hari. Aku ingin seperti mbak Puspa Kiranadewi dan mbak Hayfa Ega Farzana Rafie yang masih bisa menyempatkan diri untuk tetap membaca buku di sela-sela kesibukannya.

Usai membaca selama satu setengah jam, aku keluar dari J.Co. Aku berjalan kaki menuju tempat angkot biasa mangkal yang biasanya ada di depan apotik Hikmah. Ketika tiba di pangkalan ojek di depan Alfa Midi, mataku agak silau melihat sesuatu di seberang jalan, tepat di bawah tugu ikan mas yang terletak di pertigaan arah Bogor dan Prumpung. Aku bertanya pada beberapa supir ojek.

“Bang, itu apa ya?”
“Itu anak-anak yang badannya disemprot bu pakai cat.”
Aku ambil ponselku dan mulai membidikkan kamera ke arah mereka tapi sayang terhalang oleh angkot yang sedang mangkal. Penasaran, aku menyeberang mendekati mereka.


“Adik-adik ini sedang apa ya?” tanyaku. Beberapa anak kaget mendengar pertanyaanku yang tiba-tiba saja. Seorang anak yang sedang merokok langsung membuang rokoknya.
“Lagi cari duit,” sahut beberapa anak hampir berbarengan.
“Caranya gimana ya,” tanyaku penasaran.
“Ya pakai ini bu,” salah seorang dari mereka menjawab sambil menunjuk tubuhnya yang dilumuri cat dan mengangkat sebuah ember plastik bekas wadah cat.
“Ooo. Ini apa namanya ya? Pake apa ini?” tanyaku sambil menyentuh pundak salah seorang dari mereka. Jariku terasa lengket berminyak ketika menyentuhnya.
“Bu, bagi duitnya dong,” tiba-tiba seorang anak yang paling kecil menyahut dengan lantangnya. Aku tersenyum. Beberapa anak lainnya langsung melotot ke arah anak itu.

“Ini silver bu. Cat minyak yang disemprotkan ke badan.”
“Kalian sendiri yang menyemprotkannya ke badan?” tanyaku makin penasaran. Aku amati tubuh mereka yang ditutupi oleh cat berwarna perak tersebut. Rapi dan rata pengecatannya.
“Ya kita saling melumuri bu. Kalau sendiri ngerjainnya bisa gak rapi,”
“Ooo. Ngomong-ngomong, kalian masih sekolah ?”
“Ya bu,”
“Kelas berapa” tanyaku penasaran.
“SMP bu. Kelas 8”
“Ooo. Hari ini sekolah gak?” tanyaku sambil melihat jam di ponsel.
“Sekolah dong bu. Tadi abis selesai PTS,”
“Ooo. Kok masih sekolah sudah cari duit. Emang duitnya buat apa?” tanyaku.
“Kalo saya buat jajan bu,” jawab salah seorang anak.
“Saya buat beli mobil,”
“Saya buat bantu orang tua,”
“Saya buat sekolah, bu.”

Aku mendengarkan jawaban yang beragam dari mereka. Trenyuh.
“Ibu nih sering loo lewat sini tapi baru kali ini ibu melihat kalian ada di sini. Kalian dari mana ya?” tanyaku menyelidik lagi.
“Depok, bu.”
“Ooo. Kalo di Depok kalian pake seperti ini juga?”
“Iya.”
“Kan Depok jauh. Tadi naik apa? Ada yang mengantar kah?” tanyaku makin penasaran.
“Tadi kita nebeng truk. Gak ada yang ngantar, bu.”
“Berapa orang kalian semua?”
“Dua belas”

Aku tercengang. Dua belas anak-anak berbalut warna perak tubuhnya. The Silver Boys. Ternyata bukan hanya J.Co dan Breadtalk saja yang baru tiba di sekitaran Parung. The Silver Boys juga. Banyak mata menatap mereka terheran-heran. Menyolok sekali diantara panas terik matarahari saat ini dengan tubuh berbalut cat minyak berwarna silver. Pasti terasa panas tubuhnya.


“Woi, tuh angkot udah penuh penumpang. Sana gih,” perintah salah satu anak yang terlihat lebih besar. Sambil membawa ember cat anak yang ditunjuk dengan gesit berlarian ke arah angkot jurusan Parung-Depok yang hampir penuh dengan penumpang. Aku tersenyum melihat tubuh gempalnya berlari menghampiri sebuah angkot.

Riuh rendah suara klakson mobil terdengar menyambangi kegesitan anak-anak ini mengais rejeki. Ya Allah, apakah orang tua mereka tahu apa yang mereka lakukan? Trenyuh aku memandangi mereka satu persatu.
“Orang tua kita tahu kok bu kita lagi cari duit.” Jawab salah seorang dari mereka seakan tahu apa yang ada di benakku.
“Gak dilarang?”
“Enggak. Asal gak bolos sekolah aja bu,”
“Ooo,” speechless deh aku.
“Ibu dari mana? Kerjanya apa?” tanya salah seorang dari mereka. Aku tersenyum mendengar pertanyaannya.
“Ibu dari sekolah. Ibu seorang guru,”
“Bagi duitnya dong bu,” tanya anak yang lebih kecil. Aku tersenyum lagi.
“Iya, nanti ibu kasih. Tapi janji ya jangan dibelikan rokok,” kataku serius. Mereka hanya mengangguk mengiyakan.


Rrrrrttttttt......rrrrrrtttttt.
Sebuah angkot terlihat mogok. Beberapa kali supirnya mencoba starter tapi mobilnya tidak bergerak-gerak.
“Tuh angkot mogok. Ayo kita bantu dorong,” kata salah seorang dari mereka. Tanpa disuruh dua kali dan tanpa menjawab apa pun beberapa anak langsung mendatangi angkot yang mogok dan membantu mendorongnya hingga angkot itu bisa jalan.
“Makasih ya tong,” teriak supir angkot sambil melambaikan tangan. The Silver Boys membalasnya.


Aku pamit pada The Silver Boys dan berjalan menuju angkot yang sedang mangkal tidak jauh dari tugu ikan mas. Aku masih melihat mereka berlarian masuk ke dalam angkot dan menjulurkan ember plastik bekas wadah cat ke arah penumpang. Ada beberapa penumpang yang memberi dan ada juga yang tidak memberi. Pikiranku menerawang mengingat demo mahasiswa di depan gedung DPR beberapa hari lalu dan hingga hari ini masih berlangsung. Salah satu yang memberatkan mahasiswa adalah RUU tentang denda 10 juta rupiah bila seekor unggas membuang kotorannya di pekarangan rumah tetangganya. Aku memang termasuk orang awam dalam hal hukum. Tapi menurutku ada hal lain yang lebih penting kebanding mengurusi unggas yang “pup” di pekarangan rumah tetangga. Ini loo lihat di sekitar kita. The Silver Boys hanyalah salah satu dari puluhan masalah yang perlu di cari jalan keluarnya. Penyaluran bakat anak-anak agar tidak terjerumus pada lingkungan yang dapat merusak mental mereka.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar