Journey to Turkey
MOO VS MBEEIK
Aku melanjutkan perjalanan ke Pamukkale setelah selama 2 hari satu malam menginap di salah satu hotel di Selçuk. Dengan mengendarai kereta api jurusan Selçuk – Denizli seharga 17,5 TL akhirnya aku tiba di stasiun Denizli. Perjalanan ke Denizli ini memakan waktu sekitar 3,5 jam dengan beberapa kali berhenti di beberapa stasiun. Suasana stasiun Denizli dipadati oleh penumpang yang lalu lalang dan silih berganti menaiki kereta api. Seperti lazimnya stasiun, aku melihat deretan bangku di sepanjang lobi stasiun. Pada umumnya penumpang yang bepergian naik kereta api ini membawa koper atau tas travel besar. Bisa dikatakan stasiun ini seperti stasiun Pasar Senen Jakarta yang mengangkut penumpang dari kota yang satu ke kota lainnya. Sebelum meninggalkan stasiun aku dan Syam ke toilet umum terlebih dahulu. Kasihan juga Syam. Selama 3,5 jam perjalanan di kereta api dia menahan diri untuk tidak pipis. Ternyata dia belum jadi buang air kecil di stasiun Selçuk meskipun sudah sampai di toilet. Syam mendengar teriakan aku untuk segera naik kereta api dan mengurungkan niatnya untuk buang air kecil. Dan untuk ke sekian kalinya, aku merogohkan kantong dengan membayar 1,5 TL setiap kali masuk toilet. Di Turki setiap masuk toilet bayar, meskipun toiletnya ada di dalam mal yang besar sekalipun.
Aku berjalan keluar dari stasiun. Di hadapanku terlihat jalan raya dengan hiruk pikuknya suara mobil yang melintas. Aku menyeberang jalan sambil menarik koper mengikuti beberapa penduduk lokal. Dari kejauhan terlihat tulisan yang cukup besar di dinding berwarna merah “Büyuksehir Belediyesi Otobüs”. Terminal Bis. Di terminal bis inilah aku membeli tiket bis malam tujuan Göreme, Cappadocia.
Aku dan teman-teman menitipkan koper di perusahaan bis tempat kami membeli tiket ke Göreme. Perjalanan ke Pamukkale kami lanjutkan dengan mengendarai dolmus atau sejenis angkot. Kami menghabiskan waktu dari siang hingga petang di Pamukkale dan kembali lagi ke terminal bis Denizli.
Perutku terasa lapar setelah melakukan perjalanan dan menjelajah Pamukkale. Aku mengajak teman-teman untuk mencari makan sembari menunggu bis keberangkatan ke Göreme pada pukul 21.00. Ditemani oleh Firdi, aku mencari rumah makan di sekitar terminal. Awalnya kami mencari rumah makan fast food seperti KFC atau McDonald tapi ternyata kami tidak menemukannya sama sekali.
Kami menuju sebuah rumah makan yang cukup besar. Ada banyak kursi dan meja di dalam maupun di luar rumah makan. Aku celingak celinguk mencari pelayannya. Seorang pemuda menghampiriku. Berpakaian kaos dengan celana jeans, dia menyapaku. Sepertinya dia pelayan rumah makan ini.
“Hi,“ sapanya.
“Oh hi. I want to eat. Can I see the menu?” tanyaku
“Ok.” Katanya sambil menunjuk daftar menu besar terpampang di tembok lengkap dengan nama, foto dan harganya di setiap makanan. Firdi mendekatiku. Kami sama-sama melihat daftar foto menu dengan nama-nama makanan yang terasa asing bagi kami.
“Fir, elo mau makan apa?” tanyaku kebingungan.
“Itu gambarnya kayak sandwich ya.”
“iya,” jawabku. “Yang itu burger, Fir. Terus yang itu kayak kentang goreng dengan daging suwir.” kataku
“Rasanya kayak gimana ya kalo yang ini nih?” tanya Firdi sambil menunjuk salah satu makanan”
“Gak tahu deh. Yang jelas gue kurang suka makan daging kambing,” jawabku masih sambil kebingungan mau pesan yang mana. Sementara itu kulihat pelayan rumah makan masih tetap berdiri di samping kami.
“Aku mau yang kayak sandwich itu aja Fir.”
“Gue juga deh. Eh tapi itu daging apa ya?” tanya Firdi. "Gue juga gk doyan daging kambing atau domba."
“Hi,“ sapanya.
“Oh hi. I want to eat. Can I see the menu?” tanyaku
“Ok.” Katanya sambil menunjuk daftar menu besar terpampang di tembok lengkap dengan nama, foto dan harganya di setiap makanan. Firdi mendekatiku. Kami sama-sama melihat daftar foto menu dengan nama-nama makanan yang terasa asing bagi kami.
“Fir, elo mau makan apa?” tanyaku kebingungan.
“Itu gambarnya kayak sandwich ya.”
“iya,” jawabku. “Yang itu burger, Fir. Terus yang itu kayak kentang goreng dengan daging suwir.” kataku
“Rasanya kayak gimana ya kalo yang ini nih?” tanya Firdi sambil menunjuk salah satu makanan”
“Gak tahu deh. Yang jelas gue kurang suka makan daging kambing,” jawabku masih sambil kebingungan mau pesan yang mana. Sementara itu kulihat pelayan rumah makan masih tetap berdiri di samping kami.
“Aku mau yang kayak sandwich itu aja Fir.”
“Gue juga deh. Eh tapi itu daging apa ya?” tanya Firdi. "Gue juga gk doyan daging kambing atau domba."
Aku menolehkan wajahku ke arah pemuda itu.
“Sir, This one. What kind of meat is it?” Aku tunjuk makanan yang aku inginkan. Disitu tertulis Ekmek Arasi Tanjuk Doner. Harganya 6 TL.
Pemuda itu melihat ke arah yang aku tunjuk. Dia menoleh ke arahku dan berkata, "Oke.”
Aku dan Firdi saling berpandangan. Kuulangi lagi pertanyaanku. “What kind of meat?”
“Yes,” jawab pemuda itu.
“Listen. What meat?” tanyaku lagi mempersingkat tata bahasanya. Suaraku mulai agak meninggi seolah kuatir pelayan itu tidak mendengar apa yang aku ucapkan. Dia menyapu pandangannya ke sekitar rumah makan seperti sedang mencari seseorang.
“Sir. Listen to me. Meat. M-e-a-t.” aku memperlambat ucapan kata -meat-.
Pemuda itu tersenyum. “Yes, yes. Meat.” Akhirnya dia paham juga. Aku tersenyum lega.
“Sir, This one. What kind of meat is it?” Aku tunjuk makanan yang aku inginkan. Disitu tertulis Ekmek Arasi Tanjuk Doner. Harganya 6 TL.
Pemuda itu melihat ke arah yang aku tunjuk. Dia menoleh ke arahku dan berkata, "Oke.”
Aku dan Firdi saling berpandangan. Kuulangi lagi pertanyaanku. “What kind of meat?”
“Yes,” jawab pemuda itu.
“Listen. What meat?” tanyaku lagi mempersingkat tata bahasanya. Suaraku mulai agak meninggi seolah kuatir pelayan itu tidak mendengar apa yang aku ucapkan. Dia menyapu pandangannya ke sekitar rumah makan seperti sedang mencari seseorang.
“Sir. Listen to me. Meat. M-e-a-t.” aku memperlambat ucapan kata -meat-.
Pemuda itu tersenyum. “Yes, yes. Meat.” Akhirnya dia paham juga. Aku tersenyum lega.
Aku dan Firdi menunggu pegawai itu menjawab pertanyaanku tapi dia tidak kunjumg menjawab. Yang ada malah mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum.
“Sir. What meat? Cow or lamb?” tanyaku lagi.
“Meat. Yes , meat” jawabnya dengan wajah yang terlihat bingung.
“Oiii. Itu daging ape namanye? Sapi ape kambing” tanya Firdi dengan agak kesal. Aku nyengir sambil memandang ke arah pelayan yang masih terlihat bingung sementara kesalnya kita sudah mau naik ke ubun-ubun.
“Udah Vet, tanya sama bos nya aja. Mana ya bosnya. Parah nih orang. Hilang kesabaran gue jadinya.”
“Sir. What meat? Cow or lamb?” tanyaku lagi.
“Meat. Yes , meat” jawabnya dengan wajah yang terlihat bingung.
“Oiii. Itu daging ape namanye? Sapi ape kambing” tanya Firdi dengan agak kesal. Aku nyengir sambil memandang ke arah pelayan yang masih terlihat bingung sementara kesalnya kita sudah mau naik ke ubun-ubun.
“Udah Vet, tanya sama bos nya aja. Mana ya bosnya. Parah nih orang. Hilang kesabaran gue jadinya.”
Aku melihat ke arah kasir dan etalase makanan. Tidak ada seorang pelayanpun di sana. Rumah makan memang terlihat sepi. Sepertinya yang mau makan hanya kita saja. Memang ini bukan jamnya makan. Ada dua orang pengunjung lokal duduk tapi mereka hanya minum teh saja.
“Sir. Meat. Cow or Lamb?”
“Meat. Yes.” Jawabnya perlahan.
“Cow?” tanyaku.
Pelayan itu terdiam. Aku mengulangi perkataanku dengan perlahan,”C-o-w?”
“Yes, C-o-w.” Jawabnya perlahan mengikuti irama suaraku yang mengatakan cow.
“Tuh Fir. Sapi katanya.”
“Elu yakin Vet?” tanya Firdi terlihat ragu.
“L-a-m-b?” tanya Firdi perlahan.
‘Yaa, l-a-m-b,” jawabnya polos sambil mengikuti irama suaranya Firdi.
Aku dan Firdi saling berpandangan. Kesal tingkat dewa.
“Udah ah gue capek ngomongnya.” Firdi menyerah.
Aku yang masih penasaran berusaha cari akal.
“C-o-w. Mooooo” Aku mencoba memperagakan suara sapi. Dia terlihat masih bingung. Aku ulangi lagi sambil memperagakan seperti kepala sapi yang sedang “mooo”.
“Sir. Meat. Cow or Lamb?”
“Meat. Yes.” Jawabnya perlahan.
“Cow?” tanyaku.
Pelayan itu terdiam. Aku mengulangi perkataanku dengan perlahan,”C-o-w?”
“Yes, C-o-w.” Jawabnya perlahan mengikuti irama suaraku yang mengatakan cow.
“Tuh Fir. Sapi katanya.”
“Elu yakin Vet?” tanya Firdi terlihat ragu.
“L-a-m-b?” tanya Firdi perlahan.
‘Yaa, l-a-m-b,” jawabnya polos sambil mengikuti irama suaranya Firdi.
Aku dan Firdi saling berpandangan. Kesal tingkat dewa.
“Udah ah gue capek ngomongnya.” Firdi menyerah.
Aku yang masih penasaran berusaha cari akal.
“C-o-w. Mooooo” Aku mencoba memperagakan suara sapi. Dia terlihat masih bingung. Aku ulangi lagi sambil memperagakan seperti kepala sapi yang sedang “mooo”.
Pelayan itu tersenyum lebar. “Mooo” katanya sambil mengacungkan jempol dan mengangguk-angguk. Wajahnya sudah tidak terlihat bingung lagi. Sudah paham dia. Dia menunjuk beberapa makanan yang ada di foto menu sambil mengatakan, “mooo, mooo, mooo.”
Beberapa menu ditunjuknya sambil mengatakan, “no moo, no moo”. Aku tersenyum sambil mengacungkan jempol dan minta dibuatkan 2 buah untuk aku dan Firdi beserta the ‘çay’ yang seharga 1,5 TL. Kami memesan Ekmek Arasi Tavuk Dōner seharga 6 TL. Makanan ini rasanya seperti kebab, ukurannya besar tapi menurutku kurang rasa bumbunya. Berbeda rasanya dengan kebab yang dijual di Bogor. Untuk minumnya kami memesan 'cay' atau teh Turki yang disajikan di cangkir khas Turki. Gelasnya kecil dengan dilengkapi tatakan yang mungil. Ketika aku perhatikan, gelasnya seperti gelas tabung reaksi yang ada di laboratorium sekolahku. Hanya ukurannya saja yang berbeda, yaitu lebih kecil. 'Cay' yang harganya 1,5TL sekali teguk langsung habis.
Ketika kami kembali duduk. Firdi tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.
“Ihhh, kenapa sih ketawanya sampe gitu banget, Fir.”
“Duch Vet. Tadi waktu elo ngomong ‘moo’ tuh gue kuatir si pelayannya kagak ngerti juga. Nah kalau dia kagak ngerti, terus giliran gue dong yang ngomong ‘embeeeekkkk’. Kebagian kagak enaknya deh gue. Untung dia udah ngerti duluan ya.”
“Hahahahaha. Bener juga ya Fir,” kataku sambil ikut tertawa terbahak-bahak juga. Kami sama-sama tertawa. Lama sekali. Dewi, Erin dan Syam mendatangi meja kami menanyakan kenapa kami tertawa. Aku spontan mengatakan ‘mooo’ dan Firdi ‘embeeeekk’ secara serentak. Kami tertawa lagi sampai keluar air mata saking gelinya. Kami belum sanggup menceritakan kepada teman-teman yang lain karena masih terus saja tertawa.
“Ihhh, kenapa sih ketawanya sampe gitu banget, Fir.”
“Duch Vet. Tadi waktu elo ngomong ‘moo’ tuh gue kuatir si pelayannya kagak ngerti juga. Nah kalau dia kagak ngerti, terus giliran gue dong yang ngomong ‘embeeeekkkk’. Kebagian kagak enaknya deh gue. Untung dia udah ngerti duluan ya.”
“Hahahahaha. Bener juga ya Fir,” kataku sambil ikut tertawa terbahak-bahak juga. Kami sama-sama tertawa. Lama sekali. Dewi, Erin dan Syam mendatangi meja kami menanyakan kenapa kami tertawa. Aku spontan mengatakan ‘mooo’ dan Firdi ‘embeeeekk’ secara serentak. Kami tertawa lagi sampai keluar air mata saking gelinya. Kami belum sanggup menceritakan kepada teman-teman yang lain karena masih terus saja tertawa.
Saat makan, aku melihat pelayan tadi sedang bercakap-cakap dengan temannya dalam bahasa Turki. Aku tidak paham apa yang sedang mereka bicarakan tapi aku mendengar dengan jelas sekali kata-kata ‘moo’ diucapkan beberapa kali oleh pelayan itu dan mereka tertawa bersama.
Sore yang indah penuh suka tawa di sebuah kafe restoran yang bernama Beltas Garaj di otobus Denizli, Turkey yang tak akan terlupakan.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar