14/09/19

Journey to Vietnam

GET LOST IN THE DESERT


Sebuah jeep hijau tentara tiba di rumah makan. Seorang pemuda usia 30 tahun-an turun dari jeep dan masuk menemui lelaki pemilik rumah makan. Aku menghentikan percakapanku dengan Eri dan memperhatikan pemuda tersebut. Semoga saja ini jeep tour kami, kataku dalam hati. Hari sudah hampir pukul 2 siang. Rumah makan sudah sepi dari para penumpang yang tadi pergi bersama kami satu bis. Mereka sudah menuju lokasi wisata Mui Ne. Hanya kami saja berempat yang masih tertinggal di sini.


Tidak berapa lama, lelaki yang punya rumah makan dan pemuda tadi datang menghampiri kami.
“Ok, This is Mada. He will bring you tour. Mr. Eri and you, ladies are together in the same jeep.” Lelaki itu berkata sambil memperkenalkan pemuda tadi. Kami mengangguk dan mengikuti Mada menuju jeep yang kiri kanannya terbuka. Hanya bagian atas jeep saja yang tertutup dengan bahan kanvas tebal. Eri lebih memilih duduk di bangku bagian belakang. Trisni dan Endang duduk di tengah. Sementara aku duduk di depan di samping Mada. Jeep ini mirip seperti mobil jeep yang aku lihat di film-film perang. Ban mobilnya ban radial, besar dan tinggi. Rasanya aneh juga naik mobil seperti ini. Aku belum pernah naik mobil jeep terbuka seperti ini. Mada membantuku membukakan pintu depan. Tidak ada seatbelt sama sekali. Aku berpegangan erat pada penyangga besi yang ada di sampingku.

Jeep mulai melaju di jalan. Jalanan terlihat sepi. Tidak banyak kendaraan yang lalu lalang. Setelah kami singgah di tempat wisata yang bernama fairy stream, perjalanan dilanjutkan ke gurun pasir White Sand Dunes.

Kami tiba di White Sand Dunes. Mada memarkir jeep nya di tempat parkir. Dia membawa kami mendekati gurun. Beberapa atv yang disewakan terparkir di sana. “You have 45 minutes there. After that, you have to come here again. Remember that”, Mada dengan tegas mengingatkan. Kami mengangguk tanda mengerti tapi dalam hatiku membatin, mana cukup 45 menit?

Eri terlihat sibuk dengan dirinya sendiri memilih atv. Aku dan teman-teman tidak ingin menyewa atv. Dana kami terbatas. Aku tidak memasukkan budget untuk penyewaan atv. Alhamdulilah untuk masuk ke gurun pasir tidak dipungut biaya.

Mataku berbinar melihat gurun pasir.
“Ada ontanya gak ya?” tanyaku sambil bergurau. Aku dan Trisni tertawa riang sedangkan Endang hanya tersenyum. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya gurun pasir, berundak dan berbukit. Warna pasirnya putih. Indah sekali. Mungkin tidak beda jauh dengan gurun pasir yang ada di Timur Tengah. Hanya saja di sini tidak ada onta.

Kami buru-buru menuju ke tengah gurun. Ternyata agak sulit berjalan di atas gurun pasir. Kami melepas sepatu dan bergegas berjalan mendaki bukit pasir. Kakiku merasakan halusnya pasir putih yang hangat. Belum pernah aku merasakan sensasi seperti ini sebelumnya. Sampai di atas bukit pemandangan indah terlihat. Di ujung sana aku melihat beberapa pepohonan. Beberapa atv melintas di hadapan kami. Penumpangnya berteriak-teriak kegirangan sambil melambaikan tangan ke arah kami. Kami membalas dengan berteriak pula. Persis seperti anak-anak kecil yang sedang melihat helicopter sambil berteriak melambaikan tangan, ”Helicopter….. bagi duitnya dong. Lemparin aja ke sini duitnya.” Hahahaha.

Beberapa turis lewat di depan kami. Kami minta tolong untuk di foto. Mereka tertawa melihat kami berpakaian tertutup padahal di gurun. Sementara banyak diantara mereka hanya memakai celana pendek dan tank top saja. Kami pun ikut tertawa.
“Vet, sudah 30 menit ini. Yuk balik,” ajak Trisni.
“Masa sih. Kok cepat banget.” Seruku terheran-heran.
“Kan waktu kita 45 menit.”
“Iya bener. Tapi kan jalan ke tempat parkir aja udah berapa menit. Ayuuuk turun.” Ajak Trisni lagi.
Aku terdiam. Mataku tertancap pada pemandangan di bawah bukit yang ada pohon-pohon.
“Kita turun ke sana sebentar aja. Mau kan?” rayuku.
“Jangan. Nanti Mada marah. Kalau kita ditinggal gimana?” tanya Trisni takut. Sudah pasti Trisni dan Endang tidak mau aku ajak ke bawah bukit.
Aku terdiam. Aku penasaran ingin ke bawah sana.
“Trisni dan Endang turun aja duluan ya. Bentar lagi aku nyusul. Atau ikut aku ke bawah sana bareng-bareng.” Kataku. Trisni terdiam. Endang memang tidak banyak bicara. Entah apa yang ada di dalam pikirannya.
“Ya udah, Vetty ke sana aja. Aku dan mbak Endang ke mobil. Nanti aku bilang ke Mada biar nunggu Vetty.”
“Ok,” jawabku senang.
“Hati-hati ya Vet. Itu lihat tandanya pohon besar di ujung sana.” Kata Trisni.
Aku tersenyum. “Gurunnya gak terlalu luas kok. Gampang deh untuk sampai ke tempat parkir,” kataku menganggap remeh.

Aku melihat Trisni dan Endang menuruni bukit ke arah tempat parkir. Sementara aku menuruni bukit ke arah yang berlawanan. Aku berjalan terus hingga mendekati pepohonan yang aku lihat tadi di atas bukit. Ternyata ada sebuah danau. Indah sekali. Dua orang pemuda datang mendekati danau. Mereka berbincang-bincang dalam bahasa Indonesia. Aku menyapanya. Kami tertawa senang. Bertemu dengan sebangsa di negara orang itu senangnya tiada terkira meskipun belum kenal sebelumnya. Akhirnya aku meinta tolong mereka untuk memoto aku. Jepret-jepret.
Tidak lama aku berada di danau tersebut. Aku kembali mendaki bukit berpasir. Beberapa atv melaju di sampingku. Penumpangnya berteriak-teriak kegirangan. Aku terus mendaki. Hingga sampai di puncak bukit, aku melihat ke arah bawah mencari pohon sebagai penanda tadi. Dari kejauhan aku melihatnya. Segera aku menuruni bukit kembali ke arah tempat parkir. Terkadang aku berhenti sebentar untuk memotret atv yang lewat atau memotret beberapa jejak ban dan kaki orang yang lalu lalang yang membekas di pasir.

Kakiku mulai terasa pegal. Pohon yang semula aku lihat tidak nampak. Yang terlihat olehku hanya gurun pasir saja. Hatiku mulai bimbang. Aku terus melangkah. Masa iya sih gak ketemu. Tadi kan arahnya lurus saja. Dumelku dalam hati. Tapi sungguh, yang terlihat hanya gurun saja ini. Jantungku mulai berdetak kencang. Keringat dingin mulai mengucur di kening dan sekucur tubuh. Aku mulai dihantui ketakutan. Kalau tidak ketemu tempat parkir tadi gimana? Kok ini gurun pasir semua? Sudah jam berapa ini? Hari sudah semakin sore. Kalau tidak bertemu siapapun di gurun ini bagaimana? Tidak ada yang bisa aku hubungi. Hapeku mati dari tadi. Baterenya habis. Aku ingin menangis rasanya.

Jalanku sudah tidak lurus seperti saat permulaan menuruni bukit. Terkadang berbelok ke kanan dan jalan lurus lagi. Terkadang berbelok ke kiri. Terkadang seperti berlari-lari kecil. Kemudian berjalan kembali lagi ke arah tadi. Aku merasakan kebingungan yang luar biasa. Napasku mulai terasa sesak. Sepertinya otakku sudah tidak bisa diajak berpikir karena ketakutan dan kebimbangan yang menghantui.
“Ya Allah. Tolonglah hambaMu ini. Aku sudah ketakutan sekali. Tunjukkan jalan menuju tempat parkir jeep,” pintaku. Aku menunduk pasrah. Berdoa memohon pertolonganNya.

Aku coba berjalan lagi. Tidak berapa lama aku melihat sebuah bangunan seperti garasi besar. Di samping bangunan aku melihat sebuah mobil jeep tua terparkir. Aku menuju ke sana. Aku masuk di sela-sela pagar kawat yang membatasi bangunan dan gurun. Aku mengamati sekelilingku. Tidak jauh dari situ tampak beberapa atv terpakir rapi. Dengan cepat aku berjalan melangkah ke arah sana. Sampai di sana aku terkejut. Ini bukan tempat parkiran atv yang aku lihat pertama kali tadi. Aku menemui penjaga atv dengan napas dan wajah yang sudah tidak karuan berkeringat dan letih.

“Excuse me.”
“Yes. What can I do for you?” tanya lelaki penjaga atv terheran melihatku. Ada wanita berhijab tiba-tiba muncul dari arah gurun. Mau apa coba?
“I get lost in desert. I lost my friends and the jeep driver.” Jelasku dengan gugup.
“Ohh. Where does the jeep park?” tanyanya.
Hadeuhh gimana sih. Aku kan tersesat. Mana aku tahu dimana jeep nya? Aku mengeluh dalam hati. Mencoba untuk mengendalikan diri di saat letih yang sangat.
“I don’t know.” Jawabku lemah.
“Do you know the name of the driver?”
“Mada,” jawabku.
Lelaki itu terdiam berusaha mengingat nama Mada.
“Wait,” katanya. Aku menunggu dengan gelisah.
Lelaki itu memanggil temannya. Seorang pemuda mendekatiku. Mereka berbicara dalam bahasa Vietnam.
“Do you have number of the driver?” tanya pemuda itu.
Aku menggeleng dengan lesu.
“I am sorry we don’t know Mada.” Pemuda itu terlihat menyesal sekali tidak bisa membantuku. Aku berdiri lemas. Mataku mulai terasa panas. Buru-buru aku ambil tissue di dalam tas selempangku. Secarik kartu nama terjatuh. Aku terkejut senang. Dengan semangat aku ambil kartu nama itu. Tadi sebelum meninggalkan rumah makan, aku mengambil kartu nama paket tour yang ada di atas meja.
“Here is the card from the packet tour,” kataku tersenyum sambil buru-buru mengusap mataku yang sudah terlanjur keluar air mata sedikit.
“Thanks God.” Kata lelaki itu. Dia pura-pura tidak melihat aku yang sudah terlanjur mengeluarkan air mata. Dia menelpon nomor yang ada di kartu. Berbicara sambil mencatat nomor telpon. Kemudian dia menelpon ke nomor yang berbeda.

Dengan diantar naik motor oleh pemuda yang menjaga atv, aku sampai di tempat parkir jeep yang semula. Trisni dan Endang menghampiriku. Mereka terlihat kuatir.
“Kamu nyasar ya Vet.”
“Enggak,” kataku gak mau mengaku.
“Itu kata Mada kamu nyasar.”
Aku menemui Mada dan meminta maap.
“I am ok. But the Korean seems upset to you.”
Aku memutarkan kepalaku mencari Eri. Aku tidak melihat Eri di sekitar situ.
“I’ve already explain him that you are lost. Someone called me explain that.” Mada menjelaskan.

Kami semua kembali ke jeep. Di belakang jeep, Eri sudah duduk dari tadi. Aku mendekatinya dan meminta maap. Aku jelaskan kalau aku tersesat.
“It’s ok.” Katanya. Aku menyesal sudah membuat orang lain menunggu. Semoga dia tidak marah. Doaku dalam hati.

Sepanjang perjalanan ke tempat berikutnya, aku merenung. Aku sudah berlaku sombong meremehkan gurun pasir White Sand Dunes. Beranggapan pasti bisa mengenali dengan mudah jalan kembali karena gurun pasirnya tidak terlalu luas. Astaqfirullah alazim.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar