20/09/19

Journey to Malang

MURAL DI KAMPUNG TRIDI



Pagi itu sekitar pukul 08.00 pagi kereta api Matarmaja tiba di stasiun Malang. Aku bergegas membuka ponselku dan mulai mencari sebuah nama di whatsapp. Mas Devi.
Tut.....tut.....tut.....klek.
“Assalamualaikum, mas Devi. Ini Vetty” sapaku di ponsel.
“Walaikum salam mbak Vetty. Sudah sampai mana keretanya?”
“Sudah sampai stasiun mas. Ini lagi nurunin koper. Mas nunggu di mana?” tanyaku.
“Pas di pintu keluar ya mbak. Mbak pake baju apa?”
"Aku memakai hijab putih.” Jawabku
"Baik, mb.”
“Ok.” Aku mengakhiri pembicaraan.


Aku celingak celinguk mencari mas Devi di dekat pintu keluar stasiun. Meskipun aku sudah berusaha mengingat wajahnya dari foto profil whatssapp tetap saja sulit bagiku untuk cepat menemukannya.
“Maap, mbak Vetty ya?” terdengar suara dengan logat Jawa dari arah sampingku. Aku menoleh. Mas Devi. Seorang lelaki gemuk gempal, rambutnya hitam ikal, dan berperakawan yang tidak begitu tinggi menjulurkan tangannya ke arahku.
“Saya Devi, mbak.” Katanya memperkenalkan diri. Matanya yang ramah dan jenaka menyinggungkan senyum. Aku menyambut perkenalannya sambil tersenyum.
“Saya Vetty, Mas. Perkenalkan, ini bu Har, suami dan anaknya,”

Sebuah mobil elf berwarna putih susu telah menunggu kami bersama dengan supirnya. Setelah memasukkan koper ke dalam mobil, kami memutuskan untuk mencari makan sarapan dulu sambil menunggu bu Sri Hero sekeluarga dan bu Eni dan suami yang masih dalam perjalanan.

Pukul 10.00 kami kembali ke stasiun untuk menjemput bu Sri Hero beserta keluarga dan bu Eni beserta suami. Pukul 10.15 kerata api Majapahit tiba dengan selamat di stasiun Malang.
“Bu Sri.” teriakku sambil melambaikan tangan.
Bu Sri menengok ke arahku sambil tersenyum.
“Wah ternyata naik kereta ekonomi tidak seseram yang saya banyangkan bu Vet. Bersih. Hanya saja kursinya tidak dapat diubah-ubah posisinya.”kata bu Sri dengan antusias. Aku tersenyum. Aku memahami betul apa yang dikatakannya. Suaminya seorang dokter jadi untuk masalah kebersihan dan kenyamanan pasti nomor satu baginya sekeluarga.
“Ya bu. Nanti pas pulangnya kursinya dapat diubah-ubah posisinya karena keretanya eksekutif. Kalau yang ini kan kereta ekonomi.”
“Oh ya. Wah, yang ekonomi juga sudah lumayan ya.”
“Iya. Ayo mari bu, kita ke mobil.” Ajakku.

Kami tiba di hotel yang sudah aku booking jauh-jauh hari. Hoelnya ternyata dekat sekali dengan stasiun kereta apai dan balai kota Malang. Hotel dengan gaya antik dengan kursi dan meja yang terbuat dari kayu jati tua. Beberapa tokoh pewayangan tersampir di dinding. Pasti banyak wisatawan asing yang menginap disini. Pikirku.
Setelah bebersih, kami melanjutkan perjalanan city tour kota Malang. Tujuan kami yang pertama adalah Kampung Tridi.

Kami berjalan kaki mengikuti mas Devi. Dari kejauhan terlihat atap-atap rumah yang berwarna warni. Kata mas Devi itu adalah Kampung Warna Warni. Sementara mata kami pun tak lepas dari spot-spot foto dengan tulisan KAMPUNG TRIDI. Kampung Tridi ini terletak di Kampung Tumenggungan Ledok, Kelurahan Kesatrian, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, Jawa Timur. Kami berbelok ke kanan mengikuti arah tanda panah. Jalan agak menurun hingga sampailah kami di pintu masuk Kampung Tridi. Kami disambut dengan tulisan KAMPUNG TRIDI di atas bangku panjang terbuat dari semen. Sepasang pahatan tangan yang membuka seperti layaknya orang sedang berdoa menghias di sisi kiri jalan. Beberapa lukisan terlihat pula di sisi kiri jalan. Di sisi kanan terdapat tempat parkir motor dan agak makin ke arah kanan terdapat spot untuk berfoto berupa panggung dari kayu. Dua orang ibu penjaga loket memberitahukan kami untuk membayar tiket masuk sebesar Rp. 2000/orang. Kemudian salah seorang ibu memberikan gantungan kunci hiasan yang terbuat dari kain flannel.

Kami terus melangkah memasuki kampung. Dinding-dinding rumah dihiasi dengan lukisan mural, lukisan tiga dimensi. Tak terkecuali, dinding pada gang sempit pun tak luput dari kreativitas para penduduknya. Hal ini mengingatkan aku pada lukisan dinding di kawasan haji Lane di Kampong Glam, Bugis Singapore. Bedanya adalah kalau di Kampong Glam memang buat orang-orang yang nongkrong di kafe sambil minum kopi.

Semakin kami melangkahkan kaki semakin berwarna warni kampung ini. Kami tiba di sebuah jembatan warna warni. Jembatan ini adalah penghubung antara Kampung Tridi dan Kampung Warna Warni yang sudah terlebih dahulu hits. Di bawah jembatan adalah aliran sungai Brantas. Dari atas jembatan ini aku melihat ratusan atap rumah yang berwarna warni.

Hari mulai beranjak siang. Waktunya kami kembali ke tempat parkiran mobil. Aku berjalan perlahan. Teman-teman sudah berjalan di depan mendahuluiku. Mas Devi terlihat menungguku. Aku menoleh sekali lagi ke belakang menatap Kampung Tridi. Sebuah kampung yang sederhana yang mampu memberdayakan masyarakatnya secara ekonomi dengan usaha membuat souvenir dan usaha tempat parkir. Aku kagum dengan pemuka masyarakat dan pencetus ide Kampung Tiga Dimensi ini yang mampu melihat ke depan akan kebutuhan hiburan berseni tinggi dan menyatukan beragam perbedaan demi kemajuan perekonomian warganya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar