Eksplorasi Masjid
MASJID CUT MUTIA, JAKARTA
Kereta api commuter line yang aku naiki yang berangkat dari stasiun Bogor tiba di stasiun Gondangdia pada pukul 09.45 WIB. Aku mendekati petugas stasiun kereta api dan bertanya lokasi tepatnya hotel Sofyan, Cikini. Berdasarkan keterangan panitia pelatihan yang akan aku ikuti pagi ini hotel tersebut berjarak kurang lebih sekitar 150 meter dari stasiun Gondangdia. “Mbak nya keluar dari stasiun ini belok kanan, jalan lurus saja. Sampai ujung jalan belok kiri, jalan sebentar nanti ada tulisan masjid Cut Meutia, nah mbak nya masuk aja ke pekarangan masjid. Hotelnya ada di seberang masjid.” Aku menuruti petunjuk yang diberikan oleh petugas. Ketika tiba di area masjid, aku sedikit terpana. Selayang pandang, bangunannya tidak tampak seperti mesjid. Akupun tidak melihat kubah atau menara layaknya masjid-masjid pada umumnya yang ada di Indonesia. Rasa penasaranku terhadap masjid ini terjawab pada sore harinya setelah selesai pelatihan di hotel Sofyan. Sebelum kembali lagi ke stasiun Bogor, aku menyempatkan diri untuk singgah ke masjid ini.
Aku melihat tulisan “Masjid Cut Meutia” pada gapura berwarna dasar hijau di atas pintu gerbang masjid. Masjid yang terdiri dari dua lantai ini membuka dua akses pintu gerbang yaitu pintu yang berada di jalan Cikini Raya dan satu lagi pintu yang berada di jalan Cut Meutia. Aku memasuki pintu gerbang yang berada di jalan Cut Meutia. Di sebalah kanan kulihat lapangan parkir yang cukup luas. Menurut pengamatanku saat itu banyak mobil terparkir di sana meskipun awal waktu shalat ashar telah usai satu jam yang lalu. Motor hanya terlihat beberapa saja yang terparkir. Tidak jauh dari masjid terdapat Taman Cut Meutia yang ditumbuhi dengan pohon-pohon yang tinggi. Di depanku terlihat bangunan mesjid berwarna putih dengan dinding yang menjulang tinggi berbentuk segi empat. Di sebelah kiri bangunan terdapat pintu masuk bagi para wanita untuk memasuki masjid. Pada sisi satunya lagi pintu masuk bagi para lelaki atau pintu utama bangunan masjid.
Karena ketidaktahuanku, aku memasuki masjid melalui pintu utama. Kakiku melangkah menaiki beberapa anak tangga berlantaikan marmer putih bertekstur. Disepanjang lorong menuju bagian dalam masjid terpampang pigura-pigura besar dengan poster tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan islam. Ketika sampai di bagian dalam masjid, aku terpana melihat sekelilingnya. Ruangannya tersekat-sekat seperti kamar. Aku melihat barisan shaf yang miring. Mihrab atau podium tempat ceramah tidak tepat sejajar dengan barisan shaf. Mihrab berada di tengah ruangan sedangkan posisi imam tersembunyi di balik dinding.
Rasa penasaranku terjawab ketika aku berbicara dengan bapak tua penjaga parkir. Masjid Cut Meutia ini awalnya memang tidak dirancang untuk masjid. Pada jaman Hindia-Belanda, bangunan ini merupakan kantor arsitek NV De Bouwploeg, kemudian berubah menjadi Kantor Pos dan Djawatan Kereta Api. Bangunan ini pun pernah dijadikan sebagai Markas AL Jepang (Kempetai) pada masa penjajahan Jepang. Pada tahun 1959-1960 pernah pula dijadikan kantor Wali kota Jakarta Pusat. Pada jaman A.H Nasution, gedung ini dijadikan sebagai kantor PAM, kantor Dinas Urusan Perumahan Jakarta dan kantor Sekretariat MPRS. Pemerintah mencanangkan bangunan masjid ini sebagai bangunan cagar budaya, hanya boleh direnovasi tanpa merubah bentuk atau bangunan utamanya.
Keramaian para penjaja di sepanjang jalan Cikini Raya dan lalu lalang lalu lintas yang melintas di sepanjang jalan Cut Meutia tidak menghalangiku untuk menikmati ketenangan dan kenyamanan di dalam mesjid ini. Aku menarik napas panjang. Bersyukur atas apa yang diberikanNya padaku pada hari ini.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar