Journey to Vietnam
THE BEDS IN THE BUS
Hari ini hari ke-3 di Vietnam. Selesai shalat subuh kami bersiap turun ke lobi di lantai satu dan melakukan check out dari hotel pagi ini. Koper sudah di packing dari semalam dan siap dititipkan di lobi hotel. Tidak berapa lama menunggu, seorang wanita datang menjemput kami.
“Are you Vetty?” tanyanya.
“Yes,” jawabku ragu.
“I am from Vét Nhat express bus. The bus to Mui Ne is ready. Let’s follow me” jelasnya. Aku menengok ke arah mbak pegawai hotel, meminta pengakuan darinya apakah benar apa yang dikatakan wanita itu. Si mbak pegawai hotel mengangguk membenarkan. Setelah pamitan dengannya, kami mengikuti wanita itu menuju ke pool bis yang letaknya di dekat taman di Pham Ngu Lao street.
Jalanan masih sepi sekali. Waktu itu pukul 6 pagi. Masih terlihat agak gelap. Matahari masih malu-malu untuk menampakkan diri. Tidak banyak kendaraan dan orang-orang yang lalu lalang. Toko-toko di sepanjang pinggir jalan masih tutup. Aku melihat seorang gelandangan masih tidur meringkuk bergumul dengan kain kusam di depan sebuah toko. Kami terus berjalan mengikuti wanita itu. Di dekat sebuah taman, seorang pemabuk berjalan di depanku, meracau sambil berteriak-teriak dengan kata-kata yang tak jelas. Dengan cepat aku berjalan ke samping menghindar dari hadapannya. Perasaan takut seketika menghantuiku.
Kami tiba di sebuah lapangan parkir. Banyak bis sedang parkir di sini. Wanita yang membawa kami mendekati seorang pria yang sedang memegang sebuah clipboard yang berisi catatan. Mereka berbicara yang aku tidak mengerti artinya sama sekali. Bahasa Vietnam. Bagiku terdengar seperti orang sedang mengomel.
“Which one is Vetty?” tanya pria itu. Aku mengacungkan tangan.
“You book 3 seats, right?” tanyanya lagi. Aku hanya mengangguk. Pria itu menulis sesuatu di kertasnya.
“Ok, wait here.” Kemudian dia mendekati 4 orang asing lainnya. Wanita yang mengantarkan kami sudah tidak terlihat lagi. Entah kemana.
Aku melihat sekitarku. Ini adalah lapangan parkir. Bis-bis dari berbagai perusahaan yang ada di kota Ho Chi Minh terparkir di sini. Aku berdiri di samping bis dengan posisi membelakangi bis. Di hadapanku terlihat sebuah taman kota. Ini adalah taman Ho Chi Minh City. Sepi. Tidak terlihat warga yang sedang bermain atau menikmati taman saat ini. Masih terlalu pagi. Hanya beberapa pemabuk yang terlihat duduk mengantuk sambil memegang botol minumannya. Di sebelah kananku, yaitu jalan Pham Ngu Lao terlihat sederetan toko-toko agen perusahaan bis yang masih tutup. Board nama masing-masing perusahaan bis terpampang berdesakan di tiang-tiang. Di sebelah kiriku deretan gedung perkantoran, toko-toko yang masih tutup dan beberapa penginapan, salah satunya adalah hotel tempat kami menginap.
Kami berdiri menunggu. Belum boleh masuk ke dalam bis. Sebuah percakapan kekeluargaan terdengar olehku. Aku menoleh. Empat orang bule sedang bersenda gurau. Salah satu dari mereka melihatku dan menyapaku,
“Hi, good morning. Are you from Indonesia?”tanya wanita bule itu.
“Hi. Good morning,”aku tersenyum. “Yes, I am from Indonesia. These are my friends.”
“Lovely Indonesia.” Laki-laki di samping wanita bule itu nyeletuk. Aku tersenyum lagi.
“Where are you from, anyway?” tanyaku
Percakapan berlanjut hingga akhirnya aku tahu bahwa mereka adalah sepasang suami istri yang berasal dari Jerman yang sudah pensiun dan ingin menikmati hari-harinya berdua saja pergi mengunjungi beberapa negara. Laki-laki muda itu adalah anaknya yang sedang mengajar Bahasa Inggris di Vietnam. Wanita muda yang sedang berdiri di sampingnya adalah teman kerja laki-laki muda itu dan juga pacarnya. Dia berasal dari Scotlandia. Mereka akan bersama-sama dengan kami satu bis dengan tujuan Mui Ne.
“Hi, good morning. Are you from Indonesia?”tanya wanita bule itu.
“Hi. Good morning,”aku tersenyum. “Yes, I am from Indonesia. These are my friends.”
“Lovely Indonesia.” Laki-laki di samping wanita bule itu nyeletuk. Aku tersenyum lagi.
“Where are you from, anyway?” tanyaku
Percakapan berlanjut hingga akhirnya aku tahu bahwa mereka adalah sepasang suami istri yang berasal dari Jerman yang sudah pensiun dan ingin menikmati hari-harinya berdua saja pergi mengunjungi beberapa negara. Laki-laki muda itu adalah anaknya yang sedang mengajar Bahasa Inggris di Vietnam. Wanita muda yang sedang berdiri di sampingnya adalah teman kerja laki-laki muda itu dan juga pacarnya. Dia berasal dari Scotlandia. Mereka akan bersama-sama dengan kami satu bis dengan tujuan Mui Ne.
Pukul 07.00 pria yang memegang clipboard memanggil nama kami satu persatu. Aku maju mendekati pintu bis ketika pria itu memanggil namaku. Dia memberikan sebuah plastik kresek.
“Put off your shoes,” Aku ragu dan bingung. Kenapa pula aku harus melepaskan sepatuku? Aku pandangi pria itu dengan mata bertanya.
“We don’t want our bus dirty because of your shoes,” Glek…. Mataku nanar menatapnya. Segitunya dia. Akhirnya aku menuruti keinginannya dan memasukkan sepatuku ke dalam plastik kresek. Kebingungan masih menghantui diriku. Baru kali ini aku naik bis dengan lepas sepatu.
“Put off your shoes,” Aku ragu dan bingung. Kenapa pula aku harus melepaskan sepatuku? Aku pandangi pria itu dengan mata bertanya.
“We don’t want our bus dirty because of your shoes,” Glek…. Mataku nanar menatapnya. Segitunya dia. Akhirnya aku menuruti keinginannya dan memasukkan sepatuku ke dalam plastik kresek. Kebingungan masih menghantui diriku. Baru kali ini aku naik bis dengan lepas sepatu.
Sesampai di atas bis, aku lebih tercengang lagi. Di dalam bis, sederetan tempat tidur tingkat rapi membentuk 3 baris memanjang ke belakang. Dua baris tempat tidur tingkat memanjang di sisi kiri kanan bis dan 1 baris tempat tidur tingkat berbaris memanjang tepat di tengahnya. Keseluruhannya ada sekitar 36 tempat tidur. Tempat tidurku di tingkat ada di belakang di sisi sebelah kiri. Trisni di tengah dan Endang berada di sisi sebelah kanan. Kami saling berpandangan. Tersenyum dan nyengir. Terkadang tertawa kecil. Perasaan tidak karuan mendapatkan pengalaman seperti ini. Wanita muda asal Scotlandia kenalan baruku duduk tepat di depanku. Pacar nya yang asal Jerman duduk di tengah tepat berada di depan Trisni. Kedua orang tuanya menempati tempat duduk di depannya lagi. Beberapa penumpang lainnya adalah wisatawan asing. Di deretan bawah ditempati wisatawan lokal. Semua tempat sudah terisi penuh. Terdengar suara kenek pria tadi berteriak mengatakan sesuatu dan sekali lagi aku tidak mengerti apa yang dikatakannya.
Bis mulai melaju. Awalnya sulit bagiku untuk duduk dalam posisi setengah duduk dengan kaki menjulur agak ke depan di tekuk. Semua tempat duduknya diposisikan seperti itu. Aku melihat pria muda asal Jerman di depanku. Kakinya lebih menekuk lagi. Pasti lebih pegal rasanya daripada kakiku. Tapi belakangan, kulihat dia menaikkan kakinya lebih ke atas lagi.
Bis melaju dengan kecepatan rata-rata sedang, tidak lambat dan tidak ngebut. Beruntung aku duduk di sisi kiri bis sehingga bisa menikmati pemandangan yang ada di luar. Aku mulai terbiasa dengan posisi duduk seperti ini. Meskipun terkadang agak aneh rasanya ketika bis sedang berbelok.
Ini adalah pengalaman pertamaku naik bis seperti ini. Pengalaman merupakan satu-satunya sumber pengetahuan. Seperti yang dikutip oleh Albert Einstein, "the only source of knowledge is experience." Melalui traveling aku mendapatkan pengalaman dari setiap tempat yang aku singgahi. Traveling memberikan pengetahuan yang tidak dapat kurasakan di bangku sekolah.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar