Journey to Turkey
KEBAIKAN ITU VIRUS LOO !!!
Pagi ini selesai sarapan aku check out dari hotel di Selçuk setelah seharian kemarin aku mengunjungi Ephesus, tempat wisata yang penuh dengan nuansa histori dan budaya. Tujuanku selanjutnya adalah kota Denizli setelah nantinya aku akan mampir di Pamukkale.
Aku bergegas keluar dari hotel. Pemilik hotel yang biasanya terlihat sangar melepas kami dengan ramahnya seakan ingin membentuk kesan yang baik pada kami. Sebenarnya dia baik, hanya saja aku kewalahan menolak bujukannya untuk mengikuti paket tour keliling Ephesus dari travel yang ada di hotelnya dan aku tidak begitu suka caranya. Terlalu memaksa dengan mengatas namakan keselamatan kami dan bahwa kami adalah tanggung jawab dia selama berada di hotelnya. Ya kalau hanya aku yang solo traveling sih tidak masalah dan menurut aku harga paket tour yang diajukannya cukup jauh dari reasonable price alias mahal.
Sesuai petunjuk mbak Bella, aku menuju stasiun kereta api. Dari hotel ambil arah kiri jalan hingga sampai di jalan besar kemudian menyeberang jalan. Untuk benar-benar mendapatkan lokasi menuju stasiun kereta api aku menggunakan google map. Kalau sudah buka google map, maka yang menjadi peraga tes benar tidaknya jalan yang diambil selalu dilakukan oleh Firdi. Herannya kalau yang lain mencoba, itu titik noktah di google map tidak mau bergerak meskipun si peraga sudah berjalan agak jauh.
Akhirnya sampai juga di stasiun setelah berjalan kurang lebih 20 menit yang di sambi dengan jepret sana sini di tempat-tempat yang menarik. Aku bergegas menuju loket penjualan tiket. Di depanku ada dua orang sedang mengantri. Kereta api sudah tiba lima menit sebelum kami sampai di stasiun. Ketika lima tiket sudah di tangan, Dewi memberitahuku bahwa Syam sedang pergi ke toilet.
“Aduch, ada-ada saja. Gak bisa ya di tahan dulu ke toiletnya karena kereta apinya kan sudah datang. Dan tiga menit lagi mau berangkat.” Aku jadi sedikit gusar.
“Wah gimana dong. Tiket sudah dibeli ya?” Dewi terlihat galau juga. Akhirnya aku bergegas kembali ke loket.
“Excuse me. Can I change the schedule of the tickets for the next train?”
Ibu penjaga loket mencondongkan badannya padaku. Mungkin dia belum jelas apa yang kumaksud.
“My friend is in the toilet. The train will leave the station. Change the time, please.”
“Okey. The tickets.” Akhirnya dia mengerti juga. Aku menyerahkan tiketnya dan dia menuliskan waktu keberangkatan tiket berikutnya. Sebelum ibu penjual tiket menyerahkan tiket kembali, aku mendengar Dewi berteriak, “Vet, itu Syam sudah datang. Jadi gimana Vet?”
Aku segera ambil tiket sambil berteriak, “Ayo cepat naik kereta semuanya.” Tergopoh-gopoh kami mendorong koper masing-masing dan menaikkannya ke kereta. Satu menit kemudian kereta berangkat. Hufff, hampir saja.
Aku melihat deretan kursi 2 baris di dalam kereta. Semua kursi terisi penuh. Secara keseluruhan, keretanya bersih dan terlihat nyaman. Penumpangnya kebanyakan penduduk lokal. Aku melihat ke Syam. Wajahnya cemberut.
“Maap ya Syam. Aku tadi teriak-teriak kesal sama kamu. Karena kita memang harus menguber waktu ke Pamukkale. Kereta berikutnya ke Pamukalle sekitar 1,5 jam lagi.”
“Vet, aku tuh gak masalah ya kita lari-lari naik kereta yang udah mau jalan. Gak masalah sama Vetty diteriakkin. Tenang Vet. Santai aja.”
“Terus kenapa mukanya cemberut gitu” tanyaku
“Ini tas koperku pegangannya patah sama Erin. Sebel deh”
“Syam, aku minta maap ya. Itu tadi gara-gara keburu-buru tarik koper Syam. Aku kan takut kalau ditinggal sama Vetty. Maap ya Syam. Aku jadi gak enak ini.” Erin dengan cepat mencoba menjelaskan tentang pegangan koper yang patah.
“Ya udah gak usah jadi rame. Itu pegangan kalo udah patah mau diapain lagi. Lo nangis bombay juga itu pegangan kagak bisa balik utuh lagi,” Firdi menyahut sambal meledek.
“Sudah Syam. Nanti sampai hotel berikutnya beli lem dan kita benerin ya.” Dewi berusaha menenangkan.
“Ya deh, Erin, kamu aku maapin ya. Tapi besok-besok gak boleh gitu lagi. Nanti aku jadi sebel benerin nih.” Aku tersenyum geli.
“Gitu dong. Jangan kesel-keselan. Ini baru jalan hari-4. Masih lama lagi nih perjalanan kita.” Sahut Firdi.
Akhirnya suasana jadi adem lagi. Masing-masing mulai tertawa geli mengingat keseruan kami naik ke atas kereta di menit-menit terakhir sebelum kereta berangkat.
Aku meminta teman-teman untuk tetap di gerbong ini sementara aku akan melihat ke gerbong lainnya dan berharap ada kursi yang masih kosong. Dewi ikut bersamaku. Mataku mulai menyapu seisi gerbong. Kebanyakan yang duduk laki-laki usia remaja ke atas dan anak-anak. Beberapa penumpang lainnya berdiri, bahkan ada yang sudah lanjut usia. Heran, pikirku. Kok ya yang sudah berumur malah tidak dikasih duduk. Ingatanku langsung ke negaraku sendiri. Sekarang ini, transportasi kereta api sudah tertata dengan rapi. Tidak boleh makan dan minum dan harus mendahulukan fasilitas bagi yang sudah tua dan berkebutuhan khusus.
Akhirnya Dewi dapat tempat duduk kosong. Dia memintaku untuk duduk duluan sementara dia akan kembali ke gerbong tempat teman-teman. Aku senang sekali. Setelah apa yang barusan terjadi membuatku sedikit tegang dan lelah. Kuucapkan terima kasih pada Dewi.
Aku mulai mengamati sekelilingku. Di sebelahku duduk seorang laki-laki muda dengan pakaian santai dan berkaca mata hitam. Di depanku terlihat dua kepala laki-laki. Dibelakangku seorang bapak tengah baya dan anaknya yang berumur sekitar 8 tahun. Di samping kiriku duduk dua orang wanita. Semua terlihat sibuk dengan dawainya masing-masing.
Kereta berhenti di stasiun berikutnya. Beberapa penumpang naik sebelum kereta mulai melaju lagi. Aku baru mulai menikmati kursi empuk kereta ini ketika aku lihat seorang ibu tua berjalan melewati kursiku. Aku berdiri dan memanggil. Sepertinya dia tidak mendengar teriakanku memanggilnya dengan kata “mom” atau mungkin tidak mengerti. Aku dekati dan menahannya agar berhenti berjalan sambil menunjuk kursi yang aku duduki tadi.
“Please sit down, mom,” Dia tetap saja jalan. Aku mencoba mengatakannya lagi. Sampai tiga kali akhirnya seorang penumpang yang berdiri membantuku dengan mengatakannya dalam bahasa Turki. Ibu itu melihat padaku dan mengikutiku ke kursiku tadi. Dia hanya berdiri di samping kursiku. Tidak mau duduk. Diarahkannya tangan kanannya sambil menunjuk ke arah seorang bapak tua yang sudah agak jauh berjalan. Aku paham. Sepertinya itu suaminya. Ibu ini tak akan mau duduk kalau suaminya tidak ikut duduk. Tapi aku tetap berusaha memintanya duduk. Bahkan sedikit memaksa hingga beberapa kepala penumpang menengok ke padaku. Tapi ibu tua ini tetap kekeuh tidak mau duduk bahkan dia berjalan lagi ke arah suaminya yang masih diam berdiri berpegangan tangan pada kursi yang agak jauh dari istrinya. Aku kecewa. Mau berbuat baik malah di tolak. Tiba-tiba seseorang di belakangku menepuk bahuku. Kulihat penumpang di belakangku menunjuk kursinya dan menunjuk suami ibu tadi. Aku paham. Dia memberikan kursinya untuk suami ibu tadi. Dia berkata kepada ibu tua itu dan terdengar beberapa penumpang mengatakan sesuatu kepada suami ibu tadi. Akhirnya, ibu tua dan suaminya mendekatiku. Mereka akhirnya duduk. Ibu itu tersnyum kepadaku tanpa mengucapkan sepatah kataku. Aku paham. Aku memberikan senyum bahagiaku pada penumpang yang duduk di belakangku. “Thank you.” Kataku. Dia balas dengan tersenyum tanpa mengatakan sepatah katapun juga. Aku yakin hatinya pun bahagia karena telah membantu orang lain.
Aku masih berdiri di samping ibu tua yang menduduki kursiku ketika beberapa penumpang naik dari stasiun berikutnya. Kulihat beberapa penumpang yang duduk mulai berdiri dan memberikan kursinya pada penumpang yang lebih tua. Alhamdulilah. Kebaikan itu seperti virus yang dengan cepat menyebar ke hati manusia.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar