Journey to Vietnam
GUNAKAN ‘MATA BARU’-MU, TEMAN
Pada bulan Juli 2017 pesawat yang aku tumpangi mendarat di bandara internasional Tansonhat, Ho Chi Minh, Vietnam pada keesokan harinya setelah hari sebelumnya transit terlebih dahulu di bandara internasional Changi, Singapura. Tak banyak kegiatan yang aku dan teman-teman lakukan di bandara Changi selain hanya menunggu datangnya pagi karena pesawat mendarat di bandara Changi sudah hampir tengah malam yaitu pukul 22.35 waktu setempat dan lepas landas menuju Ho Chi Minh enam jam kemudian.
Mataku menyapu seluruh ruangan bandara Tansonhat yang boleh dibilang tidak terlalu besar untuk ukuran bandara internasional. Antrian pemeriksaan paspor juga tidak lebih dari 6 baris. Para petugas imigrasi berseragam hitam terlihat teliti memeriksa paspor para wisatawan yang datang.
“Next”.
Aku melangkah maju melewati garis batas berwarna kuning dan mendekati petugas imigrasi yang berada di belakang meja.
“Good morning,” sapaku berusaha untuk tidak tegang.
Petugas itu diam sambil memandang padaku. Tidak ada senyum sedikitku terukir di wajahnya. Hatiku rada ciut juga.
“Alone?” tanyanya.
“No. With my friends.” Jawabku.
“Where’s your friends?” matanya memandang ke belakang bahuku. Aku menengok ke belakang mencari Trisni dan Endang.
“I see,” jawabnya sebelum aku memberikan jawaban kepadanya. Tentu saja dia mengenali teman-temanku karena hanya kami bertiga saja yang berhijab saat itu di bandara.
“Indonesia?” tanyanya. Aku hanya mengangguk.
“Your finger,” aku mengarahkan jempolku untuk diletakkan pada mesin pendeteksi.
Cetok… cetok. Akhirnya pasporku di stempel. Aku mengambil pasporku sambil mengucapkan terima kasih. Aku tersenyum lega. Tidak berapa lama kemudian Trisni dan Endang mendekatiku. Kami keluar dari bagian imigrasi sambil menyeret koper. Sebelum turun tangga menuju pintu keluar, aku menukarkan dolar Amerika dan dolar Singapura ke mata uang Vietnam.
“Next”.
Aku melangkah maju melewati garis batas berwarna kuning dan mendekati petugas imigrasi yang berada di belakang meja.
“Good morning,” sapaku berusaha untuk tidak tegang.
Petugas itu diam sambil memandang padaku. Tidak ada senyum sedikitku terukir di wajahnya. Hatiku rada ciut juga.
“Alone?” tanyanya.
“No. With my friends.” Jawabku.
“Where’s your friends?” matanya memandang ke belakang bahuku. Aku menengok ke belakang mencari Trisni dan Endang.
“I see,” jawabnya sebelum aku memberikan jawaban kepadanya. Tentu saja dia mengenali teman-temanku karena hanya kami bertiga saja yang berhijab saat itu di bandara.
“Indonesia?” tanyanya. Aku hanya mengangguk.
“Your finger,” aku mengarahkan jempolku untuk diletakkan pada mesin pendeteksi.
Cetok… cetok. Akhirnya pasporku di stempel. Aku mengambil pasporku sambil mengucapkan terima kasih. Aku tersenyum lega. Tidak berapa lama kemudian Trisni dan Endang mendekatiku. Kami keluar dari bagian imigrasi sambil menyeret koper. Sebelum turun tangga menuju pintu keluar, aku menukarkan dolar Amerika dan dolar Singapura ke mata uang Vietnam.
Sinar matahari pagi menerpa wajahku manakala aku sampai di luar bandara. Hiruk pikuk suara-suara bercampur aduk. Klakson mobil dan motor yang saling sahut-sahutan, suara teriakan beberapa kenek bis, penjaja makanan yang berada di pinggir jalan dan orang-orang yang lalu lalang di depanku berbicara seperti orang yang sedang berdebat. Beberapa bangunan kuno terlihat menyempil diantara bangunan-bangunan modern lainnya. Spanduk dan poster iklan terpasang di beberapa sudut jalan. Aku menarik napas. Rasanya hampir tidak percaya kalau aku sudah tiba di Vietnam. Putaran film tentang tragedi peperangan di Vietnam puluhan tahun lalu melintas lagi di benakku.
“Vet, ini Vietnam?” suara Endang membuyarkan lamunanku.
“Iya. Kita sudah sampai.”
“Kok kayak gini? Katanya Vietnam itu luar negeri.”
“Piye toh mbak Endang. Vietnam memang luar negeri” tegas Trisni.
“Ini mah sama aja dengan di Glodok kota. Rame. Simpang siur. Tuh lihat orang-orangnya kok mirip dengan kita ya?” tanya Endang kebingungan.
Aku tersenyum. Iya benar. Wajah mereka mirip dengan bangsa kita. Kulitnya tidak begitu putih dan tidak pula hitam. Matanya juga tidak terlalu sipit seperti orang Cina pada umumnya.
“Yuk kita menyeberang. Itu kayaknya bis yang akan kita naiki.”
Seorang lelaki gendut mendekatiku. Dia mengatakan sesuatu yang aku tidak mengerti.
“Beń Thánh market?” tanyaku. Dia mengatakan sesuatu tetapi lagi lagi aku tidak mengerti.
“Bén Thánh market,” tegasku
“Chó Bén Thánh,” aku mulai dapat menangkap kata-katanya. Dialeknya seperti lagu yang iramanya naik pada akhir kata.
“No. Beń Thánh market.”kataku tegas.
“Vâng”
“Beń Thánh market,” kataku perlahan melafalkan kata-kata itu. Aku tetap kekeuh menyebutkan Beń Thánh market. Dia terlihat kesal sekali. Dipanggilnya temannya dan mereka berdua berdiskusi sambil melihat ke arahku. Sementara itu beberapa supir taksi mendekati teman-temanku. Aku memberi isyarat menggerakkan telapak tangan pertanda tidak pada para supir taksi.
“Yes, Beń Thánh market,” kata teman kenek tadi menghampiri dan menyilahkan kami untuk naik ke dalam bis. Bis ini mirip dengan bis Kopaja atau kopami dengan bangku berjejer 2-2.
“Beń Thánh market?” tanyaku. Dia mengatakan sesuatu tetapi lagi lagi aku tidak mengerti.
“Bén Thánh market,” tegasku
“Chó Bén Thánh,” aku mulai dapat menangkap kata-katanya. Dialeknya seperti lagu yang iramanya naik pada akhir kata.
“No. Beń Thánh market.”kataku tegas.
“Vâng”
“Beń Thánh market,” kataku perlahan melafalkan kata-kata itu. Aku tetap kekeuh menyebutkan Beń Thánh market. Dia terlihat kesal sekali. Dipanggilnya temannya dan mereka berdua berdiskusi sambil melihat ke arahku. Sementara itu beberapa supir taksi mendekati teman-temanku. Aku memberi isyarat menggerakkan telapak tangan pertanda tidak pada para supir taksi.
“Yes, Beń Thánh market,” kata teman kenek tadi menghampiri dan menyilahkan kami untuk naik ke dalam bis. Bis ini mirip dengan bis Kopaja atau kopami dengan bangku berjejer 2-2.
Sepuluh menit kemudian bis mulai bergerak setelah penuh dengan penumpang. Jalanan dipenuhi oleh kendaraan. Motor melaju meliuk-liuk sesukanya mencari jalan yang lapang yang ada di samping atau di depannya. Orang menyeberang di jalan raya yang ramai. Jarang aku lihat jembatan penyeberangan. Aku tersenyum geli. Mirip dengan di negara kita.
Aku melihat Trisni yang duduk di sebelahku sedang sibuk merekam dengan handphonenya. Endang yang duduk terpisah dari kami cemberut saja. Tidak bicara sepatah kata pun selama di bis. Matanya melihat ke arah luar jendela.
“Chó Bén Thánh,” teriak kenek bis. Aku terkesiap. Kok beda ya pemandangannya dengan yang aku lihat di foto salah seorang teman?
“Beń Thánh market?” tanyaku pada kenek.
“Vâng,” jawabnya sambil mengangguk.
“Where’s Bén Thánh?” tanyaku.
“You walk straight over there,” Aku menoleh ke arah belakang. Seorang wanita cantik menjelaskan padaku.
“Thanks,” Dia tersenyum manis.
“Beń Thánh market?” tanyaku pada kenek.
“Vâng,” jawabnya sambil mengangguk.
“Where’s Bén Thánh?” tanyaku.
“You walk straight over there,” Aku menoleh ke arah belakang. Seorang wanita cantik menjelaskan padaku.
“Thanks,” Dia tersenyum manis.
Kami berjalan sekitar 10 menit dari halte tempat kami diturunkan menuju Bén Thánh market. Sepertinya kalau tidak sambil menyeret-nyeret koper, mungkin hanya sekitar 5 menit saja. Aku membuka itinerary yang telah aku buat. Mataku melihat tiang nama jalan di perempatan. Tapi alamat hotel yang sudah aku booking berbeda namanya dengan yang terpampang di tiang.
“Vet, gimana nih. Aku lapar,” kata Endang.
“lebih baik kita cari hotelnya dulu ya. Makan roti bekal aja dulu,” kataku.
“Aku juga lapar Vet. Apa tidak sebaiknya kita cari makan aja dulu?” Trisni mulai mengajukan saran.
“Oke. Tapi aku gak tahu nih rumah makannya di mana.”.
“Itu rumah makan, Vet.” Jawab Endang sambil menunjuk ke arah rumah makan. Aku melihat ke arah rumah makan itu dan menggelengkan kepala ke arah Endang.
“Kita jalan dulu cari rumah makan ya. Mungkin di ujung jalan ada.”
“Emang kenapa dengan rumah makan itu?” tanya Endang.
“Kuatirnya gak halal, nduk,” jawab Trisni.
“Vet, gimana nih. Aku lapar,” kata Endang.
“lebih baik kita cari hotelnya dulu ya. Makan roti bekal aja dulu,” kataku.
“Aku juga lapar Vet. Apa tidak sebaiknya kita cari makan aja dulu?” Trisni mulai mengajukan saran.
“Oke. Tapi aku gak tahu nih rumah makannya di mana.”.
“Itu rumah makan, Vet.” Jawab Endang sambil menunjuk ke arah rumah makan. Aku melihat ke arah rumah makan itu dan menggelengkan kepala ke arah Endang.
“Kita jalan dulu cari rumah makan ya. Mungkin di ujung jalan ada.”
“Emang kenapa dengan rumah makan itu?” tanya Endang.
“Kuatirnya gak halal, nduk,” jawab Trisni.
Kamipun berjalan mencari rumah makan bertuliskan halal tapi kami tidak menemukannya sama sekali. Aku mencoba masuk ke sebuah rumah makan. Sepertinya makanannya halal tapi ketika aku meminta daftar menu, pelayan mengatakan no halal food. Aku masih penasaran ingin mencari di blok satunya lagi. Endang sudah terlihat kesal. Cemberut saja wajahnya. Memang dari tiba di bandara dan melihat sekelilingnya, sepertinya dia tidak sreg dengan perjalanan ini. Sepertinya diluar ekspektasinya tentang Vietnam luar negeri.
“Aku tunggu di sini saja. Capek. Vetty dan Trisni yang cari rumah makan halalnya ya.” Aku terdiam sejenak.
“Baiklah.”
“Aku ikut Vetty. Mbak e jangan kemana-mana ya. Jaga koper bisa ya?” Endang diam saja.
“Ya wes, kita bawa aja koper kita masing-masing ya,” kata Trisni.
Aku dan Trisni menyusuri blok yang di seberang jalan. Justru malah di blok itu tidak ada rumah makan sama sekali. Kami balik ke tempat Endang menunggu. Dari jauh aku lihat Endang mondar mandir tidak jelas di sekitar tempat itu.
“Lebih baik kita ke hotel saja dulu ya. Nanti di hotel kita tanya tempat rumah makan halal.” Trisni dan Endang terdiam. Aku pun mulai merasa lapar.
“Aku tunggu di sini saja. Capek. Vetty dan Trisni yang cari rumah makan halalnya ya.” Aku terdiam sejenak.
“Baiklah.”
“Aku ikut Vetty. Mbak e jangan kemana-mana ya. Jaga koper bisa ya?” Endang diam saja.
“Ya wes, kita bawa aja koper kita masing-masing ya,” kata Trisni.
Aku dan Trisni menyusuri blok yang di seberang jalan. Justru malah di blok itu tidak ada rumah makan sama sekali. Kami balik ke tempat Endang menunggu. Dari jauh aku lihat Endang mondar mandir tidak jelas di sekitar tempat itu.
“Lebih baik kita ke hotel saja dulu ya. Nanti di hotel kita tanya tempat rumah makan halal.” Trisni dan Endang terdiam. Aku pun mulai merasa lapar.
Aku mulai bertanya arah alamat hotel. Ternyata kami harus berjalan sekitar 2 blok lagi sebelum berbelok ke kanan dan harus menyusuri jalan lagi mencari alamat yang pastinya. Endang sudah ngedumel saja sepanjang jalan. Tiba-tiba aku menyadari bahwa tas Endang terbuka. Aku memintanya untuk memeriksa isi tasnya. Kuatir ada yang hilang. Benar saja. Dompetnya hilang. Uang sejumlah hampir 2 juta rupiah hilang beserta dompetnya. Untungnya paspor dan uang dolar Amerika, uang Vietnam dan baht Thailand tidak hilang. Endang menyimpan uang asing tersebut di dompet satunya lagi.
“Vet, aku mau balik aja,” katanya merajuk.
“Balik kemana, mbak?” tanya Trisni.
“Ya ke Indonesia.”
“Nanti saja baliknya bareng kita semua. Kita kan baru sampe masa udah mau balik,” kataku mulai gusar.
“Dompetku hilang. Aku gak punya uang lagi,”
“Kan masih ada uang dolar dan lainnya.”
“Nanti kalau gak cukup gimana?” tanyanya kesal
“Aku juga mau urus KTP. Kan KTP nya juga ikut hilang.”
Aku dan Trisni berusaha menenangkan Endang. Mengatakan bersyukur karena paspornya tidak ikut hilang. Sepanjang jalan, Endang menggerutu saja. Bahkan minta aku untuk memanggil tukang ojek. Memang ada beberapa tukang ojek. Aku justru malah gak pernah naik ojek di negara lain, takut di culik.
Letihku sudah mencapai puncaknya ketika tiba di belokan blok berikutnya, kami melihat rumah makan KFC. Akhirnya kami masuk dan bertanya tentang kehalalan makanannya. Salah seorang pegawai menunjukkan sertifikat halal yang tergantung di salah satu dinding. Alhamdulilah. Kami pun makan dan sudah tidak mempedulikan koper-koper yang jalan sendiri karena kesenggol pelanggan yang baru masuk. Untung pelayannya baik hati. Diaturnya koper-koper kami agar tidak berjalan kemana-mana. Sementara kami makan, beberapa pasang mata memandang kami dengan keheranan. Mungkin seumur hidupnya belum pernah melihat wanita cantik makan dengan lahapnya.
Kami melanjutkan perjalanan. Endang lagi-lagi menggerutu. Ya Allah. Ini baru hari ke-2 perjalanan tapi suasana sudah seperti ini. Sabarkan aku ya Allah. Doaku dalam hati.
Tiba di belokan berikutnya, aku bertanya lagi pada seorang perempuan yang sedang duduk di atas motor. Dia memberi arah dengan gamblangnya. Semangatku timbul lagi meskipun sudah sangat letih. Perempuan di atas motor itu menawarkan diri unuk mengantarkan kami satu persatu ke hotel. Aku ragu sesaat.
“No pay,” katanya. Aku ragu bukan karena harus bayarnya tapi bisakah kau dipercaya, wahai perempuan bermotor?
“Aku duluan deh yang diantar ya,” tiba-tiba Endang sudah bersiap-siap naik ke atas motor. Sulit bagiku untuk menahannya.
“Hati-hati ya. Kamu harus tahu apa yang harus kamu lakukan jika dia berbuat jahat padamu, ndang,” nasehatku.
“Siap,” jawabnya semangat.
“No pay,” katanya. Aku ragu bukan karena harus bayarnya tapi bisakah kau dipercaya, wahai perempuan bermotor?
“Aku duluan deh yang diantar ya,” tiba-tiba Endang sudah bersiap-siap naik ke atas motor. Sulit bagiku untuk menahannya.
“Hati-hati ya. Kamu harus tahu apa yang harus kamu lakukan jika dia berbuat jahat padamu, ndang,” nasehatku.
“Siap,” jawabnya semangat.
Akhirnya kami satu persatu diantar ke hotel oleh perempuan yang baik hati itu. Sesampai di hotel, aku memberikannya uang tapi dia tidak mau menerima. Aku paksakan, akhinya dia mau menerimanya juga. Ketika masuk kamar, kami semua langsung tepar di tempat tidur.
Satu jam kemudian, aku terbangun karena mendengar isak tangis. Aku lihat Endang lagi tersedu-sedu sambil membongkar tasnya. Aku diam saja. Trisni juga ikut terbangun.
“Mbak e, coba periksa lagi tas nya. Di bongkar, barangkali keselip,” saran Trisni.
“Gak ada sudah dibongkar tiga kali, tetap gak ada.”
“Coba di buka kopernya. Kali aja ada di koper,” saranku.
Endang langsung membuka kopernya dan berharap dompetnya ada di sana tapi memang tidak ada. Dia terduduk lemas.
“Mbak e, coba periksa lagi tas nya. Di bongkar, barangkali keselip,” saran Trisni.
“Gak ada sudah dibongkar tiga kali, tetap gak ada.”
“Coba di buka kopernya. Kali aja ada di koper,” saranku.
Endang langsung membuka kopernya dan berharap dompetnya ada di sana tapi memang tidak ada. Dia terduduk lemas.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar