Eksplorasi Masjid
MASJID AN NEAKMAH KAMBOJA
Pagi itu aku tiba di pool bis di Kamboja. Kerumunan penjemput sudah menyemut di depan pintu luar pool bis. Aku masih menunggu Trisni dan Endang yang sedang ke toilet ketika kulihat seorang laki-laki berkulit hitam memakai kemeja putih mengangkat selembar kertas hvs putih bertuliskan VETTY. Aku terkejut. Seumur-umur baru kali ini aku disambut seperti ini. Tapi aku tidak kenal dengan orang itu. Kok ya bisa-bisanya dia menuliskan namaku dan akan menjemputku.
Siapa dia?
Siapa dia?
Trisni dan Endang menghampiriku. Mereka langsung memegang tas kopernya yang sedari tadi aku jaga.
“Tris, Coba lihat bapak-bapak penjemput yang memegang kertas putih bertuliskan namaku itu, kamu kenal gak sama dia?”
“Yang mana?” tanya Trisni sambil matanya memperhatikan para penjemput?
“Itu yang pake baju kemeja putih, yang berdiri di belakang bapak-bapak gendut ?”
Kepala Trisni menoleh ke arah yang aku tunjukkan.
“Looo itu kertasnya tulisan namamu, Vet”.
“Wah bagus deh kita ada yang jemput,” celetuk Endang tiba-tiba. Aku dan Trisni serentak menoleh ke arah Endang.
“Kamu kenal orang itu, Vet?” tanya Trisni.
“Ya enggak lah. Aku kan baru kali ini ke Kamboja.” Bantahku.
“Atau dia jemput Vetty yang lain kali. Kebetulan aja namanya sama,” kata-kata Endang merupakan solusi dari kebingunganku.
“Bisa jadi.” Jawabku singkat.
“Tris, Coba lihat bapak-bapak penjemput yang memegang kertas putih bertuliskan namaku itu, kamu kenal gak sama dia?”
“Yang mana?” tanya Trisni sambil matanya memperhatikan para penjemput?
“Itu yang pake baju kemeja putih, yang berdiri di belakang bapak-bapak gendut ?”
Kepala Trisni menoleh ke arah yang aku tunjukkan.
“Looo itu kertasnya tulisan namamu, Vet”.
“Wah bagus deh kita ada yang jemput,” celetuk Endang tiba-tiba. Aku dan Trisni serentak menoleh ke arah Endang.
“Kamu kenal orang itu, Vet?” tanya Trisni.
“Ya enggak lah. Aku kan baru kali ini ke Kamboja.” Bantahku.
“Atau dia jemput Vetty yang lain kali. Kebetulan aja namanya sama,” kata-kata Endang merupakan solusi dari kebingunganku.
“Bisa jadi.” Jawabku singkat.
Para penumpang mulai terlihat sepi. Sebagian sudah pergi bersama penjemputnya dan beberapa sudah pergi naik taksi atau kendaraan lainnya. Beberapa supir taksi mendekati kami menawarkan jasanya. Aku menolaknya dengan halus. Laki-laki yang memegang kertas bertuliskan namaku mendekatiku.
“Excuse me. Are you Vetty?” tanyanya sambil menunjuk kertas hvs yang digenggamnya. Aku ragu untuk menjawab. Aku tidak kenal dengan siapa pun di Kamboja ini. Baru kali ini aku datang ke sini. Tempat ini benar-benar masih asing bagiku. Aku diam tidak menjawab.
“My name is Charman. I am tuk tuk driver. Yesterday my friend in Phonm penh told me about you. He told me you need a tuk tuk driver.”
Aku berusaha mencerna kata-katanya. Logatnya mirip teman kuliahku dulu yang berasal dari Jawa Tengah, rada medok Jawa.
“Apa katanya Vet?” tanya Trisni. Aku jelaskan apa yang dikatakan lelaki itu.
“O ya itu Vet. Kan memang kamu bilang perlu kendaraan ke supir tuk tuk yang bawa kita city tour Phonm penh kemarin. Ingat kan?”
“My name is Charman. I am tuk tuk driver. Yesterday my friend in Phonm penh told me about you. He told me you need a tuk tuk driver.”
Aku berusaha mencerna kata-katanya. Logatnya mirip teman kuliahku dulu yang berasal dari Jawa Tengah, rada medok Jawa.
“Apa katanya Vet?” tanya Trisni. Aku jelaskan apa yang dikatakan lelaki itu.
“O ya itu Vet. Kan memang kamu bilang perlu kendaraan ke supir tuk tuk yang bawa kita city tour Phonm penh kemarin. Ingat kan?”
Ya betul aku ingat. Kemarin supir tuk tuk di Phonm penh bilang akan memberitahu temannya seorang supir tuk tuk di Kamboja.
“Iya aku juga ingat. Gimana nih, kita ambil atau tidak tawaran tuk tuk nya?” tanyaku
“Terserah Vetty aja. Kalau sekiranya mahal ya kita cari tuk tuk lain aja.” Usul Trisni.
“Iya aku juga ingat. Gimana nih, kita ambil atau tidak tawaran tuk tuk nya?” tanyaku
“Terserah Vetty aja. Kalau sekiranya mahal ya kita cari tuk tuk lain aja.” Usul Trisni.
Aku bicara dengan Mr. Charman, supir tuk tuk. Memberitahu dia tujuan kita sepanjang hari ini dan minta diantar kembali jelang malam ke pool bis ini lagi untuk melanjutkan perjalanan darat ke Bangkok. Tawar menawar terjadi. Akhirnya Mr. Charman menyetujui harga yang aku minta. Pada dasarnya dia tidak terlalu mempermasalahkan harga yang aku ajukan. Atau harga yang aku ajukan kemahalan sehingga dia langsung mau? Entahlah.
Mulailah kami menaiki tuk tuk. Tuk tuk itu moda transportasi darat yang mirip dengan bajaj. Perbedaannya kalua tuk tuk di Indonesia hampir sebagian body kendaraan tertutup sementara tuk tuk di Kamboja terbuka. Kalau mau di tutup karena hujan, biasanya menggunakan terpal menutupi body kendarannya. Mr. Charman menaikkan koper-koper dan tas kami ke dalam tuk tuk.
Setelah seharian kami diantar menjelajah Angkor Wat dan sekitarnya akhirnya kami akan diantar ke pool bis oleh mr. Charman. Hari memasuki waktu ashar. Tuk tuk terus berjalan melewati beberapa café, restoran, bar dan hotel. Banyak turis dari berbagai negara terlihat di sepanjang jalan ini. Diujung jalan yang telah kami lalui, aku melihat pemandangan yang berbeda. Di sepanjang jalan ini terlihat rumah-rumah penduduk biasa dan aku tidak melihat lagi turis lalu lalang di jalan.
Tiba-tiba Mr. Charman menghentikan tuk tuk nya. Kami terheran kenapa berhenti. Ini bukan tujuan kami berikutnya.
“Sorry. We stop here. Maybe you want to visit this.” Mr. Charman menunjuk ke suatu arah. Aku mengikuti arah tangannya. Sebuah masjid. Mataku melihat sebuah papan nama di depan pintu gerbang masjid. Diantara tulisan Khmer yang keriting kruwel-kruwel aku mengenali tulisan lainnya yang tertulis sebagai Masjid An Neakmah.
“Sorry. We stop here. Maybe you want to visit this.” Mr. Charman menunjuk ke suatu arah. Aku mengikuti arah tangannya. Sebuah masjid. Mataku melihat sebuah papan nama di depan pintu gerbang masjid. Diantara tulisan Khmer yang keriting kruwel-kruwel aku mengenali tulisan lainnya yang tertulis sebagai Masjid An Neakmah.
Aku, Trisni dan Endang turun dari tuk tuk.
“Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh,”
“Waalaikum salam warohmatullahi wabarokatuh” jawab kami serentak. Aku menoleh ke arah datangnya suara. Dua orang lelaki sepuh tersenyum pada kami. Senang dan terharu rasanya ada yang menyapa kami dengan salam Islami setelah 5 hari telinga kami terasa hampa tanpa pernah mendengar salam atau mendengar suara azan dari tempat-tempat yang sebelumnya kami kunjungi.
“Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh,”
“Waalaikum salam warohmatullahi wabarokatuh” jawab kami serentak. Aku menoleh ke arah datangnya suara. Dua orang lelaki sepuh tersenyum pada kami. Senang dan terharu rasanya ada yang menyapa kami dengan salam Islami setelah 5 hari telinga kami terasa hampa tanpa pernah mendengar salam atau mendengar suara azan dari tempat-tempat yang sebelumnya kami kunjungi.
Berbeda dengan masjid pada umumnya yang didominasi oleh warna putih atau hijau, mesjid An Neakmah ini bernuansa pink. Beberapa pilar dengan kokohnya menopang bangunan mesjid ini. Kotak amal yang terbuat dari kayu berukuran sekitar 30x50x100 cm terlihat merapat pada salah satu pilar yang berada di tengah bangunan di sisi kanan mesjid. Papan pengumuman jadwal shalat lima waktu tergantung di dinding depan mesjid. Beberapa kipas angin tersebar menggantung di dinding dan pilar mesjid. Bangunan mesjid ini sebenarnya tidak terlalu besar tapi desain dengan pilar-pilar minimalis yamg kokoh yang membuat kesan mesjid ini terlihat luas. Tampak dari depan tidak terlihat bahwa bangunan mesjid ini berlantai dua. Lantai 1 untuk para lelaki dan lantai 2 untuk para wanita.
Kami diantar ke lantai 2. Tangga untuk ke lantai dua berada di sebelah kanan mesjid. Selesai shalat kami bercakap-cakap dengan seorang bapak tua yang tadi ikut menyambut dan menyapa kami. Beliau bernama ustadz Yusuf. Berdasarkan keterangan dari ustadz Yusuf, masjid An Neakmah ini berada di perkampungan muslim Kamboja. Perkampungan ini terletak di selatan kota Siem Reap, Kamboja tepatnya di daerah yang bernama Steung Thmey yang dalam bahasa Khmer Kamboja artinya adalah "sungai baru". Jumlah penduduknya kurang lebih sekitar 1000 penduduk yang berasal dari 370 kepala keluarga.
Di belakang masjid terdapat sebuah madrasah. Di Madrasah yang bernama Qomaruddin Al Islamiah inilah warga kampung muslim belajar mengaji.
Tepat di sebelah madrasah ada sebuah restoran halal yang bernama Cambodian Muslim Restaurant. Banyak wisatawan muslim mancanegara yang mampir ke sini. Citra rasa makanannya adalah masakan melayu, jadi tidak jauh berbeda dengan masakan Indonesia. Harganya pun terjangkau oleh kantong.
Beberapa anak terlihat berlarian menghampiriku. Mereka baru saja selesai belajar mengaji di madrasah. Dengan malu-malu mereka menjulurkan tangannya dan meraih telapak tanganku dan mendekatkannya ke mulut mereka. Aku tersenyum. Anak-anak yang santun. Senang rasanya bisa berada diantara anak-anak muslim Kamboja. Mereka terlihat senang dengan kehadiran kami. Mereka memanggilku dengan sebutan "mak cik".
Ditengah-tengah kehidupan yang mayoritas non muslim dan begitu dekat dengan objek-objek wisata yang mendunia tidak mengurangi keteguhan mereka dalam beribadah kepada Sang Pencipta. Toleransi beragama antara muslim dan non muslim di sekitar perkampungan muslim ini menciptakan kehidupan yang tenteram dan damai. Seperti arti dari nama perkampungan muslim Steung Thmey, "sungai baru", layaknya sungai yang baru selalu bening, jernih dan tidak keruh. Semoga demikian pula selalu kehidupan masyarakat di perkampungan muslim ini.
Aku meninggalkan jejakku di sini. Semoga di lain waktu aku bisa mampir ke sini lagi.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar