21/09/19

Review Film

HAYYA
Dukamu Duka Kami Juga


Rrrrrr... rrrrrrrrr.
Getar suara ponsel mengagetkanku.
“Hai sis. Nanti jadi kan nonton di Botani square?” tanya suara dari seberang ponsel. Eulis yang nelpon.
“Ya jadi dong. Selesai membimbing skripsi Sella aku meluncur ke sana. Kita ambil yang jam 14.25 aja ya.” Jawabku.
“Gak pake lama ya. Kuatir gak kebagian seat di sana. Pasti rame. Ini kan weekend” kata Eulis kuatir.
“Ya gak usah kuatir. Gak dapat jam dua-an ya yang jam empat-an aja,” jawabku sekenanya.
“Ok deh,” jawab Eulis.
Aku matikan ponselku.


“Memangnya miss mau kemana?” tanya Sella.
“Mau nonton di Botani square, Sel.” Jawabku.
“Film apa miss?” Tanya Sella lagi.
“Itu tentang anak Palestina.”
Aku dan Sella melanjutkan diskusi tentang penggunaan kutipan langsung dan tidak langsung.
“Miss, nanti bareng aja. Aku juga mau ke Surken cari baju untuk ulang tahunnya Thania. Nanti lewatin Botani square” Ajak Sella.
“Surken apa” tanyaku. Aku baru dengar nama Surken.
“itu singkatan dari Surya Kencana, miss.” Jelas Sella sambil tersenyum.
“Oooooo” aku nyengir.
“Ok.” Alhamdulilah. Ada tebengan.

Lalu lintas di depan Botani square padat merayap. Panas terik hari itu tidak mengurangi orang-orang yang berseliweran di sepanjang jalan. Aku turun di depan KFC dan menyeberang jalan menuju Botani. Sesampai di mal aku langsung naik lift ke lantai 2. Bioskop sudah dipenuhi oleh para penonton yang akan menonton. Hari menunjukkan pukul 12.50. Masih ada waktu bagiku untuk makan siang tapi sebaiknya aku beli tiket terlebih dahulu biar dapat seat yang tidak terlalu dekat dengan layar.
“Mb, film Hayya.”
“Ada bu. Jam 14.25. Berapa tiket?”tanya mbak penjual tiket.
“Dua.” Jawabku.
“Mau seat nomor berapa” tanya mbak nya sambil memperlihatkan denah tempat duduk di gedung bioskop.
“Ini mbak.” Jawabku sambil menunjuk seat yang kumau.
“Nomor 11 F dan 12 F ya. Jam 14.25. Jumlahnya jadi 120 ribu.”

Setelah membayar aku menuju hokben untuk makan siang. Lagi-lagi rumah makan siap saji ini dipenuhi oleh para pelanggan. Aku menyusuri ruangan untuk mencari tempat duduk. Seorang ibu dan anaknya beranjak dari tempat duduknya. Aku pun bergegas menuju tempat duduk itu.

“Sis, aku sudah belikan tiketnya. Dikau dimana?” tanganku dengan terampilnya menulis pesan whatsapp.
“Aku di Jambu Dua. Grabnya lamretta nih,” jawabnya.
“Buruan. Filmnya main jam 14.25.”
“Iye....iyeee.”
Setelah menemui sahabatku di lobbi mal, kami menuju bioskop. Tak berapa lama menunggu, seorang wanita memakai baju kebaya encim dan kain panjang berdiri manis di pintu teater 1. Beberapa orang mulai memasuki teater 1.
“Film Hayya ya,” kata wanita itu.

Durasi film yang lamanya 110 menit telah aku lalui bersama sahabatku, Eulis. Keluar dari gedung teater 1 kami ramai berdiskusi mereview apa yang telah kami tonton. Film ini mengisahkan tentang seorang anak bernama Hayya di camp pengungsian Palestina. Gadis berambut panjang dengan wajah yang selalu dirundung kesedihan terpisah dari keluarganya dalam suasana konflik antara Israel - Palestina. Seorang relawan dari Indonesia yang bernama Rachmat menyelamatkannya. Kesedihan lagi-lagi menghinggapi Hayya ketika Rachmat dan beberapa relawan lainnya harus kembali ke Indonesia. Rachmatpun tak urung ikut sedih setibanya di tanah air. Namun hal yang tak disangka-sangka terjadi. Hayya bersembunyi di dalam koper besar milik Rachmat hingga terbawa ke Indonesia. Menurutku, hal ini tidak masuk akal. Bagaimana bisa koper Rachmat terbebas dari pengawasan bagian imigrasi? apakah kalau naik Kapal Kemanusiaan tidak ada pemeriksaan imigrasi?

Antara bahagia dan bingung, Rachmat memutuskan untuk menjaga Hayya dan meminta Adit untuk merahasiakan keberadaan Hayya.
Karena Rachmat bekerja hingga malam hari maka diputuskanlah untuk mencari pengasuh anak. Kekocakkan film dimunculkan pada saat audisi mencari pengasuh yang menurrut aku tidaklah begitu perlu. Akhirnya seorang wanita bernama Ricis yang terpilih menjadi pengasuh Hayya. Adegan Ricis sangat baik sekali. Menurut aku, Ricis dapat menutupi kekurangan dari alur cerita yang tidak mulus. Ada flashback di dalam flashback.

Dalam kesibukannya bekerja sambil menjaga Hayya, Rachmat pun didesak ayahnya untuk segera melaksanakan pernikahannya dengan Yasna. Hayya menyedot perhatian Rachmat sehingga Rachmat tidak begitu serius dalam menghadapi pernikahannya. Menurut aku, ini pun sangat tidak lazim terjadi di Indonesia dimana pernikahan bagi kita merupakan sesuatu yang sakral dan harus benar-benar dipersiapkan dengan seksama mulai dari perkenalan calon keluarga pengantin, tanggal penetapan pernikahan dan lain sebagainya. Sementara yang terjadi adalah Rachmat yang tiba-tiba datang ke rumah ayahnya di Ciamis dikejutkan oleh kehadiran keluarga Yasna dalam rangka penentuan tanggal pernikahannya. Padahal Rachmat datang ke Ciamis dalam rangka bersembunyi dari polisi yang sedang mencari Hayya dalam rangka mengembalikan Hayya kembali ke Palestina.

Menurutku, film ini tidak jelas genrenya. Atau mungkin ini yang disebut dengan genre campuran? Penonjolan pada aspek komedi kesannya tidak natural. Sentuhan kesedihan dan penderitaan kurang mendalam. Cara intel mengambil Hayya dari tangan Adit terkesan kasar. Sahabatku Eulis bahkan berpendapat bahwa ini film amburadul. Flashback di dalam flashback yang terkesan tidak halus loncatan tayangnya.

Bagaimanapun juga, film ini mengingatkan aku bahwa di belahan bumi lain masih terjadi konflik antar negara. Konflik antara Israel – Palestina yang membuat rakyat Palestina menderita hingga kehilangan saudara dan keluarganya. Sementara aku di sini tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolongnya.

Dukamu adalah duka kami juga, Hayya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar